Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral

Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral

Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan cara manusia membangun norma untuk membuat penilaian moral! Misalnya, bagaimanakah caranya manusia membangun kaidah atau norma penilaian moral? 

Pertanyaan seperti ini sebenarnya telah menggiring kita untuk studi yang lebih serius tentang “penuntun” penilaian moral. Pada bagian kedua kita telah memasuki wilayah etika sebagai ilmu atau disebut filsafat moral. 

Bila manusia tidak bisa tidak harus melakukan penilaian moral atau etis, dari manakah norma penilaian itu? Atau, bagaimanakah norma itu dibangun? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pembicaraan beralih pada beberapa teori dalam rangka pembangunan kaidah atau norma penilaian etis. 

Beberapa akan kita bahas dalam bagian ini. Bila etika sebagai ilmu mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk menilai secara etis (menilai baik, benar dan bertanggungjawab), pertanyaannya adalah bagaimanakah orang membangun normanya/penilaian etisnya? 

Dalam kaitan itu maka ada dua kategori teori yang berbeda yakni yang oleh filsuf moral disebut teori teleologis dan teori deontologist (Wagner1991, 1-13).

1. Teori Teleologis 

Teori Teleologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan atau kebenaran itu ditentukan oleh tujuan yang baik (telos = tujuan). Jadi, kalau seseorang mempunyai tujuan yang baik yang mendorong suatu tindakan apapun tindakan itu pasti dinilai baik, melulu karena tujuannya baik. 

Namun muncul pertanyaan: tujuan yang baik untuk siapa? Untuk pelakunya kah atau untuk orang banyak? Dalam hal ini ada dua subteori lagi yakni yang dinamakan etika egoisme (egoism ethics) dan etika universalisme (universalism ethics). 

Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi pelakunya (orang itu sendiri atau setidaknya kelompoknya). 

Walaupun tujuan yang baik untuk diri sendiri atau kelompoknya tidak selalu jahat atau buruk, teori ini bisa melahirkan suatu sistem etika yang disebut “hedonisme” yakni kenikmatan hidup dengan prinsip nikmatilah hidup ini selagi masih hidup, besok Anda akan mati dan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati. 

Etika universalisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa kebenaran/kebaikan itu ditentukan oleh tujuan yang baik untuk jumlah terbesar. Misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan orang banyak bisa mengorbankan kepentingan pribadi dan jumlah orang yang lebih sedikit. 

Kita ingat akan proyek waduk Kedung Ombo, juga dengan penalaran seperti di atas. Kita mendapatkan contoh sistem etika utilitarianisme (utility) seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, yakni yang berprinsip bahwa tindakan yang terbaik yang membawa dampak atau kegunaan bagi jumlah terbesar itulah yang dinilai baik, benar dan bertanggungjawab (prinsipnya the greatest good for the greatest number). 

2. Teori Deontologis 

Teori Deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu tindakan itu baikbila memenuhi kewajiban moral (deon=kewajiban). Untuk teori inipun terbagi dua bagian lagi berkaitan dengan kewajiban itu siapa yang menentukan? 

Kalau kewajiban itu ditentukan oleh aturan-aturan yang sudah ada (darimana pun datangnya) teori itu disebut sebagai “deontologis aturan” (rule deontologist). Untuk itu, kebanyakan etika yang bersifat legalistik yang didasarkan pada legalisme, termasuk dalam teori ini. 

Apakah etika-etika keagamaan yang sangat legalistis bisa dimasukkan dalam kategori ini? Namun ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban ditentukan bukan oleh aturan yang sudah ada melainkan oleh situasi/keadaan, teori ini disebut “deontologis tindakan” (act deontologist). 

Dalam hal ini kita mendapatkan contoh sistem etika yang dikenal dengan nama etika situasi (situation ethics) yang dikembangkan oleh Joseph Fletcher. Pertanyaan untuk didiskusikan: bagaimanakah sistem etika keagamaan yang Anda anut, masuk dalam kategori manakah? 

Di manakah letak etika Kristen dalam kerangka teori di atas? Apakah orang Kristen dalam proses pertimbangan dan penilaian etis mendasarkan diri pada tujuan atau pemenuhan kewajibankewajiban moral/etis? Kalau berdasarkan tujuan yang baik, maka kebaikan untuk siapakah? 

Kalau berdasarkan pemenuhan kewajiban moral, darimana kah datangnya kewajiban moral itu? Apakah dari aturan-aturan moral yang sudah ada (dari manapun datangnya) atau dari situasi tertentu? Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang lain. 
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral"

close