Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membangun Kristiani dan Hubungan Karakter Dengan Iman

Membangun Kristiani dan Hubungan Karakter Dengan Iman

Today’s students are tomorrow’s leaders and citizens. If the schools educate the students to be young people of high character, our country will eventually become a nation of high character” (Ryan dan Bohlin 1999, xi).

Kutipan ini ingin menunjukkan bahwa karakter itu sangat penting, bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat bahkan bangsa. Karena itu, kita perlu menggali dan mengkaji karakter, hubungan karakter dengan iman dan Etika Kristen, serta bagaimana membangun karakter. 

Silakan Anda mengumpulkan banyak informasi dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain mengenai pengertian karakter, hubungannya dengan iman dan Etika Kristen serta bagaimana membangun karakter. Apakah karakter itu? Mengapa karakter itu penting? Inilah beberapa pertanyaan awal kita. 

Gill adalah seorang yang dengan teliti mencoba menggali dari berbagai sumber apa itu karakter dan juga menunjukkan hubungan antara karakter dan iman Kristen. Mengapa kita melakukan hal yang kita lakukan? Ini suatu pertanyaan penting dan kompleks. 

Pilihan-pilihan kita tentang baik dan buruk mempunyai sejumlah faktor penyumbang: misalnya kondisi mental dan psikologis kita. Kalau kita sedang stres, kita berbicara dan bertindak lain dibandingkan waktu kita tidak stres. 

Lingkungan sosial banyak berperan dalam keputusan dan tindakan etis kita. Hubungan-hubungan masa lampau kita juga bisa memengaruhi kita, begitu pula orang-orang sekitar kita bisa memberi tekanan atau mendukung yang pada gilirannya memengaruhi kita. 

Kadang kita juga mengatakan pikiran-pikiran jahat selalu membisikkan kepada kita untuk melakukan sesuatu, atau sebaliknya Tuhan mengatakan agar kita melakukannya (Gill,2000:27). 

Sebelum lebih jauh dibicarakan tentang karakter, perlu diperhatikan beberapa konsep penting berikut ini: prinsip-prinsip (principles), nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues). 

Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang dapat menunjukkan dengan jelas perbedaan antara prinsip-prinsip (principles), nilai- nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues). 

Manakala seseorang melakukan sesuatu yang secara moral terpuji atau sebaliknya, perhatian orang tertuju kepada prinsip-prinsip moral mereka (apakah tinggi, rendah atau tidak ada). 

Prinsip-prinsip moral diartikan sebagai pernyataan singkat (brief statement) yang berfungsi sebagai penuntun tindakan yang menentukan hal benar apa yang harus dilakukan (atau sebaliknya yang tak boleh dilakukan). 

Pada dasarnya prinsip- prinsip bersifat luas, umum, dan inklusif seperti halnya apa yang sering disebut sebagai kaidah kencana (Do unto others as you would have them do unto you). Sama seperti engkau suka orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah itu kepada orang lain, kata Yesus (lih. Luk.6:31). 

Contoh lain adalah “principle of utility” (Do what results in the greatest happiness for the greatest number). Akan tetapi, masalah dalam pengambilan keputusan etis ini tidak terletak pada kurangnya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang baik. 

Mereka yang korupsi uang rakyat dari pajak atau membunuh orang yang tak berdosa pasti juga tahu perintah jangan mencuri dan jangan membunuh. Karena itu menurut Gill, kalau ada orang yang baik seperti Mother Theresa dll. mungkin prinsip-prinsip yang baik saja tak cukup menjelaskan mengapa mereka melakukan apa yang dilakukan. 

Di mana-mana kita menyaksikan kemerosotan prinsip- prinsip moral dalam berbagai tindakan manusia, namun ada banyak bukti pula bahwa memiliki prinsip-prinsip moral tidak dengan sendirinya akan menuntun kepada pelaksanaannya. 

Menurut Gill, ada sesuatu yang lebih mendasar daripada sekadar prinsipprinsip: yaitu karakter. Prinsip cenderung melayang-layang di atas eksistensi kita seperti formula- formula yang terpisah dari diri kita. Kita berkonsultasi dengan mereka; kadang juga terkait dalam ingatan kita. 

Prinsip tidak selalu diaplikasikan terhadap situasi konkret. Dibutuhkan motivasi dan upaya keras untuk mengingat, menafsirkannya, dan menerapkan serta menghidupi prinsip-prinsip tersebut. Pada sisi lain, karakter Anda selalu ada bersama Anda, selalu secara segera hadir dalam situasi apapun. 

Kekuatan karakter dapat menolong membawa kita melalui situasi-situasi saat kita tidak dapat mengingat suatu prinsip pun. 

Jadi, apakah karakter itu? Bill Hybels, seorang pendeta, mengatakan karaktermu adalah “siapa Anda ketika tidak seorangpun melihatmu,” maksudnya adalah bahwa Anda harus tetap jujur bahkan ketika tidak seorangpun tahu apa yang Anda lakukan. 

Misalnya, Anda tidak akan mengambil barang bukan milik Anda meskipun tidak seorangpun tahu bahwa Anda yang mengambilnya, karena karakter Anda selalu bersama Anda, yakni karakter kejujuran itu. 

Kita baru mengatakan seseorang itu jujur, bukan karena ia tahu dan memiliki prinsip kejujuran, melainkan karena ia mempraktikkan kejujuran dan telah menjadi pola hidupnya. Karakter adalah apa dan siapa kita tanpa orang lain melihat kita atau tidak. 

Karakterku adalah orang macam apa saya (siapa saya). Ada macam-macam karakter: fisik, emosional, intelektual, dll. Yang terutama adalah karakter moral (moral character). Mungkin, suatu latihan yang baik, kalau kita membayangkan apa kata orang kelak pada saat penguburan kita. 

Bukan gelar, harta yang mereka katakan tetapi karakter kita, bahwa kita seorang yang murah hati suka menolong atau orang akan mengatakan kita sangat pelit. 

Kedua, nilai-nilai (values). Konsep lain yang perlu kita bahas dalam upaya memahami apa itu karakter dan pembentukannya, adalah konsep mengenai nilai-nilai (values). Sekali lagi perhatian kita dalam bagian ini adalah tentang karakter moral dan etis. 

Suatu cara modern untuk berbicara tentang etika kita adalah bertanya “apa saja nilai- nilai” kita. Apakah yang kita jawab tentang nilai-nilai kita? Atau, nilai-nilai apa saja yang secara aktual menuntun kita (meskipun implisit dan tidak dianalisis)?

Istilah nilai- nilai (values) ini menunjuk kepada fakta bahwa kita menganggap atau memandang atribut-atribut tertentu dari karakter kita sebagai “layak” (penting) bagi kita, sebagai hal yang kita setujui. 

Persoalan kita dengan bahasa nilai-nilai (values), bukanlah pada apa yang kita katakan melainkan pada apa yang tidak kita katakan. Ia menyungguhkan sisi yang subjektif dari isu (walau adalah penting untuk menghargai beberapa atribut karakter). 

Namun ia mengesampingkan pertanyaan apakah “nilai-nilai saya ini” adalah layak dianut, dan secara aktual memang baik. Kita juga harus mencatat fakta bahwa kita mengambil dari suatu istilah ekonomi (value), dan menerapkannya secara total kepada isu-isu karakter. 

Hal ini menunjuk kepada konsumerisme dari perspektif kita dan bahwa hal ini tidak terlalu menggembirakan. 

Ketiga, kebajikan-kebajikan (virtues). Menurut Gill lebih baik menggunakan bahasa nilai-nilai secara terbatas saja, dan berusaha menemukan kembali bahasa klasik yang penting: virtues (kebajikan-kebajikan). 

Pada waktu lalu umum untuk berbicara tentang atribut atau ciri (trait) dari karakter yang baik sebagai virtues (kebajikan- kebajikan) sedangkan karakter yang buruk disebut dengan vices (sifat buruk). 

Virtues berasal dari bahasa Latin virtus yang secara harfiah berarti sesuatu seperti “power” (kekuatan/kuasa). Jadi, virtues pada dasarnya bukan sekadar values (nilai-nilai) yakni ciri-ciri (traits) yang kita rasakan berguna/layak, tetapi kekuatan-kekuatan yang merupakan kemampuan yang riil untuk mencapai sesuatu yang baik. 

Dari perspektif kebajikan ini, pertanyaannya yang muncul adalah “apa saja kekuatan-kekuatan (virtues) yang perlu dikembangkan untuk mencapai suatu kehidupan yang baik? Sebenarnya, menurut Gill, sebelum istilah Latin virtus sudah ada konsep Yunani yang disebut arête (yang oleh orang Romawi diterjemahkan dengan virtus). 

Karena itulah para filsuf moral menterjemahkan “the ethics of character” (etika karakter) sebagai “aretaic ethics” (etika aretaic). Sedangkan arête dalam bahasa Yunani mungkin paling baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai excellence ‘keunggulan‘. 

Keunggulan ini bukan keunggulan dalam semua hal, melainkan hanya keunggulan dalam terang tujuan yang sudah ditentukan. 

Karena itu, virtue sebagai arête ‘keunggulan’ merujuk kepada kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang kita miliki–bukan semua kekuatan dan kemampuan, melainkan hanya yang memungkinkan kita mencapai secara unggul tujuan-tujuan kita. 

Dapat juga dikatakan bahwa virtues adalah keterampilan yang dibutuhkan untukmencapai tugas kehidupan (yang baik). 

Ketika kebajikan-kebajikan seperti itu terjalin dalam karakter kita, kebajikan-kebajikan itu tidak menjadi sekadar komponen-komponen pengalaman hidup kita tetapi sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan, kecenderungan-kecenderungan, dan watak-watak yang terus-menerus. 

Ketika bermacam- macam tantangan muncul, kita tidak hanya berkonsultasi dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai, tetapi kita sudah mempunyai kecenderungan dan keinginan untuk bereaksi dengan kebaikan, keadilan, atau dengan kebajikan-kebajikan lain yang tepat- kita juga telah memeroleh keterampilan dan kemampuan untuk bertindak dengan cara yang tepat. 

Kembali lagi kepada pertanyaan awal: apakah sesungguhnya karakter itu? Ryan dan Bohlin mencoba dengan cara yang agak beda menjelaskan tentang apa itu karakter. Dengan mengutip Exupery yang mengatakan “It is only with the heart that one seesrightly; what is essential is invisible to the eye.” 

Dari kutipan itu mereka berdua ingin mengatakan bahwa karakter adalah satu dari hal-hal yang esensial tersebut. Karakter adalah salah satu dari katakata yang biasa kita dengar, tetapi yang sulit dijelaskan. Seperti halnya semua hal abstrak, kita tak bisa melihat, menjamah, maupun merasakannya. 

Bilamana kita berada di dekat seseorang yang mempunyai karakter yang baik, kita bisa menyadarinya (Ryan 1999, 5). 

Kata bahasa Inggris “character” berasal dari bahasa Yunani charassein yang berarti ’mengukir, memahat ‘seperti tindakan mengukir pada lempengan lilin, batu permata, atau permukaan logam. 

Dari akar tersebut, berkembanglah arti karakter sebagai suatu tanda atau petunjuk yang khusus, dan dari situ bertumbuhlah konsepsi bahwa karakter adalah pola perilaku individu yakni keadaan moralnya. 

Setiap manusia ditandai oleh berbagai campuran khas antara hal-hal negatif, kesabaran, kelambanan, keprihatinan, kebaikan dan sejenisnya. 

Menurut Ryan dan Bohlin, suatu karakter yang sudah tetap misalnya karakter yang baik–jauh melebihi sekadar pola perilaku dan kebiasaan bertindak yang tetap. 

Mereka menyimpulkan bahwa karakter yang baik adalah sifat mengetahui apa yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan apa yang baik. 

Ketiganya secara dekat berhubungan. Kita lahir dengan orientasi yang berpusat pada diri sendiri, dan tidak tahu apa-apa di mana dorongan-dorongan primitif kita menguasai penalaran kita. 

Semua upaya pendidikan dan pengasuhan adalah untuk membawa kecenderungan, perasaan, dan cita-cita dalam harmoni dengan penalaran. Untuk mengetahui yang baik, tibalah pada pemahaman akan yang baik dan jahat. 

Tindakan ini berarti mengembangkan kemampuan untuk menilai situasi, dan secara sadar memilih hal yang benar untuk dilakukan dan melakukannya. Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai penalaran praktis (practical reason). 

Ini tidak hanya bijaksana mengatur waktu tetapi juga menentukan prioritas, dan memilih dengan baik dalam semua bidang kehidupan.

Mencintai yang baik berarti mengembangkan suatu perasaan dan emosi moral yang penuh, termasuk mencintai apa yang baik dan membenci yang jahat, termasuk suatu kemampuan untuk berempati dengan orang lain. Ini adalah masalah menyukai untuk melakukan yang baik. 

Mencintai yang baik memungkinkan kita menghargai dan mengasihi meski kita tahu tindakantindakannya salah.

Ia mengizinkan kita mencintai orang yang berdosa dan membenci dosanya. Melakukan yang baik berarti, bahwa setelah pertimbangan yang teliti dan sungguh-sungguh atas semua keadaan dan fakta-fakta yang relevan, kita mempunyai kemauan untuk berbuat/bertindak. 

Dunia kita penuh dengan orang-orang yang tahu hal benar apa yang harus dilakukan, tetapi kurang sekali kemauan untuk melakukannya. Mereka tahu apa yang baik, tetapi tak dapat menghantar mereka kepada melakukan yang baik.

Pertanyaannya adalah apakah yang baik? Kebudayaan sangat majemuk dan pendapat orang mengenai yang baik itu juga kadang majemuk, walaupun ada tumpang tindihnya di sana sini. Semua budaya mempunyai semacam bentuk “golden rule”(Ryan dan Bohlin 1999, 6-7). 

Biasanya apa yang baik melampaui batas-batas budaya dan bahkan batas-batas agama. Namun dari perspektif Kristen, yang baik adalah yang dikehendaki Tuhan. Apa yang dikehendaki Tuhan? Sangat banyak dan tersebar dalam seluruh Alkitab. 

Intinya adalah “kasih” atau mengasihi karena itulah hukum utama dan pertama. Apa artinya mengasihi itu? Tentu saja masih membutuhkan penjelasan. 

Bisa juga kita katakan bahwa hukum kasih yakni “mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri” (lih. Mat. 22:37-40) adalah prinsip utama dan terdalam.

Hal ini masih bisa dijabarkan secara lebih spesifik seperti dalam kata-kata Tuhan Yesus dalam Lukas yang mengatakan: “sama seperti kamu suka orang lain perbuat kepadamu, maka perbuatlah itu kepada orang lain.” 

Bagaimanakah hubungan antara iman dan etika Kristen dan karakter Kristen? Hubungan di antara ketiganya sangat erat dan bahkan menyatu. Iman Kristiani, bilamana dipahami dengan betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam arti kognitif, sebagai pengakuan intelektual kita mengenai kebenaran dari yang kita percayai. 

Iman Kristiani juga mencakup pengertian mempercayakan diri kepada yang dipercayai dan membangun sikap dalam hubungan dan komitmen dengan yang dipercayai. Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap saja tidak cukup untuk mewujudkan iman Kristiani itu. 

Kita perlu melakukan apa yang kita percayai dan kita ketahui bahwa hal itu baik. Tuhan Yesus setelah selesai membasuh kaki para murid-Nya, menantang mereka dengan pertanyaan: mengertikah mereka akan apa yang sudah dilakukan-Nya? 

Dan tanpa menunggu jawaban mereka, Tuhan Yesus langsung melanjutkan dengan kata-kata berikut ini: “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24). 

Intinya jelas bahwa karakter Kristen tidak hanya terbatas pada tahu apa yang baik, tetapi juga mempunyai kecintaan, dan keinginan melakukannya, serta melakukannya dalam tindakan nyata. 

Berkali-kali Alkitab mempertegas hal ini, misalnya dalam Yakobus 2:26 yang mengatakan bahwa “sama seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikianpun iman tanpa perbuatan adalah mati.” Di sini seolah-olah iman dan perbuatan dipisahkan, mungkin saja iman dalam arti tahu apa yang baik. 

Gill kembali lagi menegaskan perlunya memahami konsep “hati” di dalam Alkitab. Bagi mereka yang percaya akan Alkitab sebagai Firman Tuhan, “hati” adalah pusat yang mengontrol kehidupan seseorang. 

Tuhan Yesus mengatakan, “sebab dari dalam, dari hati orang timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, irihati, hujat, kesombongan, kebebalan. ”

Semua hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang (lih. Markus 7:21-23). Karena itu, kita butuh hati yang baru, cara pandang baru, yang berasal dari Allah dan diasuh oleh firman-Nya serta didukung oleh komunitas orang berkarakter baik, sehingga seseorang terbangun karakter Kristianinya. 

Hati kita adalah hakikat paling inti dari keberadaan kita, dari jiwa kita, dan menjadi pusat yang mengontrol karakter kita. Hati menjadi sumber mata air dari motivasi-motivasi dan perilaku kita. Anda dapat melihat betapa dekat hubungannya dengan karakter kita. 

Dalam membangun dan membangun kembali karakter kita, hati kita harus terkait dengan hati baru, dan hidup baru yang dijanjikan Allah. Bagaimanakah pembangunannya? Inilah yang kita sebut pendidikan karakter. Tanggungjawab siapakah pendidikan karakter itu? 

Pertama, dari sudut pandang manapun, terutama teologis, pendidikan karakter adalah tanggungjawab utama dan pertama dari orang tua, karena setiap anak pada umumnya terlahir dalam keluarga, dan dipercaya anak sebagai karunia Tuhan. 

Karena itu, orang tua lah penanggungjawab utama untuk pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Kedua, secara tradisional, komunitas agamawi juga bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter umatnya. Fungsi agama, antara lain, sebagai penuntun moral, termasuk karakter moralnya. 

Di sinilah dipertanyakan apakah keluarga maupun komunitas iman benar-benar telah menjalankan tanggungjawab ini? Apa hambatan dan halangannya? Coba Anda diskusikan dengan rekan Anda, apa yang salah dengan keluarga dan Gereja sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter. 

Apa solusi yang Anda hendak berikan? Ketiga, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Belakangan ini, sekolah diingatkan untuk mengerjakan tanggungjawab ini khususnya masyarakat Amerika yang sudah menjadikan pendidikan karakter sebagai suatu gerakan nasional. 

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, bahwa karakter adalah “tahu apa yang baik, mencintai apa yang baik, serta melakukan apa yang baik”. 

Pendidikan karakter adalah upaya sengaja untuk menolong naradidik di dalam konteks manapun untuk mengetahui apa yang baik, mencintai apa yang baik serta maumelakukan apa yang baik itu. 

Sudah dikatakan bahwa suatu kebajikan itu baru akan menjadi kebiasaan bilamana hal-hal itu sudah terjalin dalam pengalaman kehidupan. Jadi, untuk menjadi orang berkarakter baik dibutuhkan pembiasaan, pengajaran dan dorongan.

Pembiasaan itu hanya bisa terwujud bilamana para pendidik apakah orang tua, pemimpin umat, dan guru dapat menjadi teladan yang berwibawa dan bisa menegakkan disiplin dan kebiasaan yang baik. Di sinilah dibutuhkan dukungan komunitas karakter. 

Keluarga, sekolah dan gereja/komunitas agamawi dapat menjadi komunitas karakter. Hal ini hanya bisa terjadi bila keluarga, sekolah/universitas, serta komunitas agamawi mempunyai budaya berkarakter: adil, memberi perhatian, disiplin, terbuka, dll. 

Pendidikan agama hanyalah salah satu unsur kecil dalam keseluruhan budaya suatu komunitas keluarga, gereja dan sekolah. Alangkah baiknya bila ketiga pilar tadi bekerjasama secara sinergis sehingga karakter anak didik benarbenar terbangun.

Ingat bahwa dunia melalui berbagai industri budaya dan hiburan/mainan menawarkan dan membangun karakter anak-anak muda tetapi karakternya yang bertentangan dengan kebajikan yang dianut keluarga, sekolah dan gereja.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Membangun Kristiani dan Hubungan Karakter Dengan Iman"

close