Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Kristen

Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Kristen

Silakan Anda mengamati dan menilai hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan dalam sejarah kekristenan dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain. 

Amati juga apa yang menjadi pokok persoalan dalam membahas topik llmu pengetahuan dan teknologi dalam hubungannya dengan pendidikan agama di perguruan tinggi. Pada satu sisi, perguruan tinggi adalah tempat ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari sekaligus dikembangkan. 

Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya untuk menguasainya, namun agar dapat menyumbang baik untuk perkembangan manusia secara pribadi maupun untuk masyarakat secara bersama-sama. 

Bila ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan salah satu substansi kajian, ada asumsi, bahwa agama memberi sumbangan yang berarti dalam rangka memotivasi manusia untuk mempelajari dan mengembangkannya demi kegunaan bagi manusia dan masyarakat. 

Selain itu, tantangan terbesar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bahwa agama bisa menjadi kurang atau tidak relevan lagi dalam memecahkan persoalan hidup manusia dan masyarakatnya. 

Disadari benar bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dibuktikan secara empiris, dapat saja memerosotkan iman seseorang sehingga tidak percaya lagi pada kebenaran agama bilamana temuan ilmu pengetahuan ternyata berbeda dengan deskripsi Kitab Suci. 

Singkatnya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi ancaman bagi kehidupan beragama. Jadi, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tetap diusahakan berkembang, tetapijuga iman dan takwa manusia dalam kehidupan beragamanya ditingkatkan. 

Karena itu, haruslah dicari hubungan yang bermakna antara iman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hubungan yang bagaimanakah di antara keduanya yang dapat dipertanggungjawabkan? Tantangan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu terasa di Indonesia. 

Karena ideologi Pancasila mengasumsikan semua orang percaya kepada Tuhan, secara publik jarang ada orang mempertanyakan eksistensi Tuhan dan kebenaran dari apa yang dianggap penyataan Ilahi dalam kitab-kitab suci keagamaan. 

Hal ini tidak berarti bahwa secara individual orang tidak secara kritis mempertanyakan dasar iman mereka. 

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional juga secara tegas merumuskan tujuan pendidikan nasional pertama-tama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, dan juga memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Bagaimanakah sifat hubungan antara iman (agama) dan ilmu pengetahuan dalam sejarah (khususnya sejarah kekristenan)? Hubungan yang bagaimanakah yang dapat kita kembangkan agar berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sekaligus meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Tuhan? 

Inilah persoalan substansial kajian ini. Sebelum kita menelusuri tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan menurut Ian Barbour, baiklah secara sederhana dilihat dua tipe hubungan yang terlihat tidak membangun.

1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains 

Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad lamanya, khususnya selama Abad Pertengahan, dapat disaksikan dominasi iman atas ilmu pengetahuan atau sains. 

Teologi yang menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman danetika. 

Tragisnya, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu pengetahuannya bahwa bukan matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan bumilah yang beredar mengelilingi matahari, gereja sebagai pemegang otoritas kebenaran ajaran teologi menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap dia. 

Penemuannya justru dianggap bertentangan dengan deskripsi Alkitab yang ditafsirkan secara literal (harfiah) dan dikenal dengan istilah Biblical Literalism, tanpa memerhatikan konteks budaya ketika Alkitab ditulis. 

Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih sederhana, dan deskripsi tentang fenomena alam berdasarkan pengamatan sematamata. 

Secara awam sudah tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar mengelilingi bumi adalah hal yang wajar tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi buku teks ilmu pengetahuan alam. 

Tujuannya jauh lebih tinggi dari deskripsi seperti itu. Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua yang ada, ada penciptanya. Suatu pengakuan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah yang hidup dan bertindak dalam sejarah umat manusia. 

Silakan Anda amati dan nilai dampak negatif dominasi iman/agama terhadap ilmu pengetahuan/ sains. Untungnya, setelah beberapa abad kemudian Gereja mengakui bahwa hukuman terhadap Galileo Galilei adalah suatu kekeliruan, dan Gereja telah meminta maaf atas hal tersebut. 

Umumnya, pada masa kini tidak ada yang beranggapan bahwa mataharilah yang beredar mengelilingi bumi dan bukan bumi yang mengelilingi matahari, walaupun tidak berani menolak otoritas Alkitab, karena Alkitab bukan buku teks ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana sebaiknya hubungan iman/agama dengan ilmu pengetahuan? 

2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama 

Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan, malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama atas agama atau iman dalam abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan. 

Tampaknya ilmu pengetahuan memberikan satusatunya jalan yang dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge). Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang kuat. 

Sedangkan agama pada sisi yang lain, bersifat sangat subjektif, lokal (sempit skopnya), emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang saling bertentangan satu sama lain. 

Lama-kelamaan, orang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak berdasar. 

Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan. Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba menyesuaikan pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu pengetahuan, dan dengan demikian iman tunduk kepada ilmu pengetahuan. 

Inilah dominasi ilmu atas iman. Silakan Anda amati dan nilai dampak negatif dominasi ilmu pengetahuan atas iman/agama! Dari dua sifat hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa keduanya kurang sehat baik untuk agama dan iman maupun untuk ilmu pengetahuan. 

Ian Barbour membagi tipe hubungan iman dan ilmu pengetahuan masa sekarang dalam 4 tipe hubungan. Liek Wilardjo telah membuat suatu ringkasan yang sangat baik tentang keempat tipe itu serta menerbitkannya dalam Jurnal Waskita (Wilardjo 2004, 15-29). 

Menurut Wilardjo, keempat pengelompokkan yang dibuat Barbour itu, dapat disingkat dengan empat (4) P, yakni: Pertentangan (Conflict), Perpisahan (lndependence), Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (lntegration). 

Wilardjo lebih jauh menjelaskan makna dari keempat tipologi hubungan iman dan ilmu di atas sebagai berikut. 

a. Pertentangan (conflict) 

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang pertama, yakni pertentangan. Pertentangan ialah hubungan yang bertentangan (conflicting), dan dalam kasus yang ekstrem mungkin bahkan bermusuhan (hostile). 

Barbour menunjukkan bahwa contoh historis dari konflik ini adalah kasus Galileo. Lebih jauh dia katakan bahwa pada satu sisi mereka yang menganut Materialisme Ilmiah (pada pihak ilmu pengetahuan) berada pada pertentangan yang tidak terdamaikan dengan mereka dari pihak agama/iman yang menganut Literalisme Alkitabiah. 

Baik Materialisme IImiah dan Literalisme Alkitabiah percaya bahwa ada konflik yang serius antara ilmu pengetahuan masa kini dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi klasik. 

Keduanya mencari pengetahuan dengan fondasi yang pasti: pada satu sisi berdasarkan pada data logika dan indrawi, sedang pada sisi yang lainnya berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya (infallible scripture). 

Keduanya mengklaim bahwa baik ilmu pengetahuan maupun teologi membuat pernyataan-pernyataan yang bertentangan tentang hal yang sama, misalnya sejarah dari alam ini, dan seseorang harus memilih salah satunya. 

Menurut Barbour, keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Penganut Materialisme Ilmiah mulai dengan ilmu pengetahuan tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-klaim filosofis yang luas. 

Sebaliknya, penganut Literalisme alkitabiah bergerak dari teologi lalu membuat klaim-klaim tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kedua aliran/kubu kurang memberi penghargaan yang memadai kepada perbedaan-perbedaan kedua disiplin ilmu itu.

b. Perpisahan (independence) 

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu yang kedua, yakni perpisahan. Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing tanpa saling mengganggu atau mempedulikan. 

Ini salah satu cara untuk menghindari konflik atau saling menyalahkan. Masing-masing mempunyai bidang yang berbeda, dan dengan metode yang khas yang dapat dibenarkan atas dasar terminologinya sendiri-sendiri. 

Pendukung dari pandangan ini berpendapat bahwa ada dua yuridiksi (otoritas) dan tiap pihak tidak boleh campur urusan pihak yang lain, melainkan berurusan dengan urusannya sendiri. Setiap cara inkuiri (penelitian) bersifat selektif dan mempunyai keterbatasan. 

Perpisahan yang tajam ini dimotivasi atau didorong bukan saja oleh keinginan untuk menghindari konflik yang tidak perlu, melainkan oleh keinginan untuk setia kepada sifat yang berbeda dari setiap bidang kehidupan dan pemikiran. 

Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu dan agama mempunyai perspektif yang berbeda atas bidang yang sama, ketimbang bidang penelitian yang berbeda. Apakah ini cara terbaik untuk melihat hubungan keduanya?

Pada satu sisi tampaknya cara ini agak aman, namun bagaimanakah seorang ilmuwan yang juga adalah seorang beriman? Mungkinkah cara ini berfungsi? 

c. Perbincangan (dialogue) 

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu yang ketiga, yakni perbincangan. Perbincangan ialah hubungan yang saling terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami perbedaan dan persamaan antara keduanya. 

Dalam kategori ini pun ada berbagai kelompok pendapat yang masih ada perbedaan di sana sini. Ada banyak tokoh baik bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang menjadi pendukung dari tipe ini. Salah satu argumen dari tipe ini menurut Barbour ialah adanya kesejajaran metodologis dalam kedua disiplin ini: ilmu pengetahuan dan teologi/iman. 

Sebelum tahun 1950-an, ada pembedaan yang tajam antara sifat dan metode ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu pengetahuan dikatakan bersifat objektif, yang berarti bahwa teori-teorinya divalidasi dengan kriteria yang jelas, diuji oleh persetujuan data yang tidak dapat dibantah dan bebas teori/nilai. 

Baik kriteria maupun data ilmu pengetahuan diakui tidak tergantung pada subjek individual, dan tidak dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya. Pada sisi yang lain menurut pendapat itu, agama atau teologi bersifat subjektif karena ada keterlibatan pribadi di dalamnya. 

Sesudah tahun 1950-an, kontras atau perbedaan yang tajam ini secara berangsur-angsur dipertanyakan. Ilmu pengetahuan tidak seluruhnya objektif, agama tidak seluruhnya subjektif sebagaimana diduga sebelumnya. 

Memang ada perbedaan-perbedaan dalam tekanan di antara kedua bidang ini, tetapi perbedaannya tidak semutlak seperti yang diduga. Data-data ilmiah didasarkan pada teori/anggapandan bukan bebas nilai. 

Asumsi- asumsi teoretis ikut bermain dalam menyeleksi, melaporkan, dan menafsirkan apa yang dianggap sebagai data. Lebih lagi, teori-teori tidaklah lahir dari analisis data yang logis, melainkan melalui tindakan imajinasi kreatif kadang-kadang analogi dan model-model memainkan peranan. 

Model-model konseptual menolong kita membayangkan apa yang tidak dapat diamati secara langsung. Pada sisi yang lain, banyak dari ciri-ciri ini juga dapat ditemukan dalam agama khususnya dalam berteologi. 

Kalau data agama termasuk pengalaman agamawi, ritus- ritus, dan teks kitab suci, data-data seperti itu bahkan lebih dipengaruhi oleh interpretasi konseptual. Bahasa-bahasa agamawi juga penuh dengan metafora-metafora dan model-model. 

Sudah jelas bahwa kepercayaan religius tidaklah tunduk terhadap pengujian empiris yang ketat, namun dapat didekati dengan semangat yang sama yang terdapat di dalam penelitian ilmu pengetahuan. 

Kriteria ilmiah mengenai koherensi, menyeluruh, dan kegunaannya mempunyai kesejajaran dalam pemikiran agamawi. Barbour juga mengutip Thomas Khun yang mengatakan bahwa baik teori-teori dan data dalam ilmu pengetahuan tergantung pada paradigma dari komunitas ilmiah (keilmuan). 

Khun mengartikan paradigma sebagai suatu kelompok presuposisi (praanggapan) konseptual, metafisik dan metodologis yang terwujud dalam suatu tradisi pekerjaan ilmiah. Dengan paradigma baru, data lama direinterpretasikan dan dilihat dengan cara baru, dan data baru dicari. 

Dalam memilih paradigma, tidak ada aturan untuk menerapkan kriteria ilmiah. Evaluasinya merupakan suatu tindakan menilai oleh komunitas ilmu (ilmiah). Tradisi agamawi dapat juga dipandang sebagai komunitas- komunitas yang berpegang pada paradigma yang sama. 

Penafsiran data (seperti pengalaman agamawi dan peristiwa sejarah), bahkan lebih bergantung kepada paradigma dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. 

Banyak cara dan wilayah yang dapat digunakan oleh ilmu pengetahuan dan teologi/iman untuk berdialog satu sama lain yang dapat memperkaya keduanya dalam memenuhi panggilannya untuk memanusiakan manusia, menjaga kelestarian alam semesta, dan pada saat yang sama memperkuat ketakwaan dan keimanannya kepada Allah. 

Salah satu yang diusulkan adalah mengembangkan spiritualitas yang berpusat kepada alam (nature). Teologi Kristen sebaiknya menjaga keseimbangan antara imanensi Ilahi (Allah) dalam alam, dan pada saat yang sama transendensi Ilahi (Allah) atas alam. 

Belajar dari ilmu-ilmu sosial khususnya teori sosial kritis, para teolog Pembebasan misalnya mengembangkan teologi yang memberi perhatian kepada ketidakadilan dan dominasi, dan membaca Alkitab secara kritis serta melakukan kritik sosial maupun kritik agamawi khususnya kritik terhadap teologi yang mengalienasi manusia baik dari diri sendiri, sesama, alam semesta, bahkan dari Tuhan. 

d. Perpaduan (Integration) 

Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu yang keempat, yakni perpaduan. Beberapa penulis berpendapat bahwa semacam integrasi antara ilmu dan iman/agama adalah mungkin. Ada tiga versi yang berbeda dari integrasi menurut Ian Barbour. 

Yang pertama, dalam teologi natural (alamiah), diklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan dari bukti-bukti rancangan dalam alam. Bahwa alam sedemikian teratur menunjukkan adanya suatu perancang di baliknya. 

Ia tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan menolong kita untuk lebih menyadarinya. 

Yang kedua, dalam teologi tentang alam, sumber utama dari teologi terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah dapat memengaruhi perumusan ulang dari doktrin- doktrin tertentu dalam agama, khususnya doktrin tentang penciptaan dan hakikat manusia. 

Yang ketiga, dalam sintesa sistematis, baik ilmu maupun agama, menyumbang untuk pengembangan dari suatu metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat proses. Barbour memberi penjelasan yang panjang lebar dari ketiga macam versi integrasi ilmu dan agama di atas, namun tidak dimuat di sini. 

Liek Wilardjo menyimpulkan bahwa Barbour berpendapat bahwa “perpaduan” adalah hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama dan menyatu. 

Perpaduan itu menurut Barbour seperti disimpulkan oleh Wilardjo, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology), atau dari sisi agama (Theology of Nature). Tipe manakah yang seharusnya dipakai?

Barbour sangat mendukung tipe keempat yakni perpaduan (integrasi) walaupun ia juga pro perbincangan/dialogue. 

Wilardjo cenderung ke tipe ketiga yakni perbincangan (dialog), karena di antara keduanya ada perbedaan yang menipiskan kemungkinan perpaduan, tetapi juga ada persamaan sebagai dasar perbincangan. 

Wilardjo tidak menolak tipe perpaduan, dan terbuka terhadap kemungkinan itu, namun menurutnya tidak perlu dipaksakan. Tampaknya memang untuk sementara tipe perbincangan lebih memungkinkan, walaupun kita tetap terbuka pada tipe perpaduan, tetapi tidak perlu dipaksakan. 

Secara alkitabiah dan imaniah, kita pada satu sisi menerima bahwa ilmu pengetahuan dapat dikembangkan manusia, karena hal ini adalah mandat kebudayaan. Untuk melaksanakan mandat itu Tuhan, memperlengkapi manusia dengan kemampuan rasional dan kemampuan yang lain.

Pada saat yang sama, manusia adalah juga makhluk religius dan karenanya agama tidak bisa tidak hadir dalam kehidupan manusia dan menjadi kebutuhan manusia untuk berelasi dengan Tuhan. 

Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana kedua potensi itu dipakai untuk membentuk kepribadian yang utuh, dan bagaimana keduanya saling menunjang dan mendukung? 

Lebih-lebih bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas demi ilmu itu sendiri tetapi demi kemaslahatan manusia dan kelestarian alam, dan karena dengan demikian kita telah melaksanakan kehendak Tuhan yang telah menciptakan dunia dan isinya dengan perintah untuk mengasihi sesama, dan memelihara alam ciptaan Tuhan. 

Tujuan akhir agama adalah transformasi manusia dan masyarakat dalam rangka mentaati kehendak Tuhan. Kini kita akan mengalihkan perhatian kita kepada teknologi sebagai aplikasi ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah.
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Kristen"

close