Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran dan Fungsi Lembaga Sosial

Peran dan Fungsi Lembaga Sosial

1. Lembaga Keluarga 

Sebelum dijelaskan lebih lanjut mengenai lembaga keluarga, maka terlebih dahulu perlu kalian ketahui apakah yang dimaksudkan dengan pengertian keluarga itu? Secara sederhana konsep keluarga dapat diartikan sebagai kesatuan sosial (masyarakat) yang terkecil yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak (keluarga dalam artian inti/batih). 

Namun adakalanya juga, kesatuan keluarga hanya terdiri dari pasangan suami dan istri saja (keluarga dalam artian parsial). Atau malahan sebaliknya, terdiri dari banyak anggotanya, yakni di samping adanya keluarga inti juga masih ditambah dengan keponakan, ipar, adik, dan lain-lain. 

Pengertian yang terakhir ini, mengacu pada pengertian keluarga dalam arti besar (keluarga besar). Sedangkan pengertian keluarga dalam arti luas (umum) di antaranya dikemukakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1999 : 268), yang mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu lainnya. 

Secara historis, keluarga terbentuk atas satuan yang terbatas, yakni dua individu (laki-laki dan wanita) yang mengadakan ikatan-ikatan tertentu yang disebut perkawinan. Selanjutnya, secara berangsur-angsur anggota keluarga semakin meluas yaitu dengan kedatangan atau kelahiran anak maupun berupa adopsi anak. 

Pada saatnya nanti, anak-anak itupun akan melangsungkan ikatan perkawinan sehingga terbentuklah keluargakeluarga baru. Demikianlah seterusnya, sehingga proses atau siklus semacam itu akan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. 

Sebagaimana pernah disinggung di muka, dalam kehidupan keluarga terdapat pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan sesuai dengan kedudukan maupun peranan masing-masing individu yang menjadi anggota keluarga. 

Sedangkan peranan masing-masing individu sesuai dengan kedudukan dalam keluarganya itu ditentukan berdasarkan aturanaturan maupun kaidah-kaidah yang menjadi bagian dari norma maupun pranata keluarga. 

Sementara adanya individu-individu yang melaksanakan pekerjaan maupun tugas-tugas dalam keluarga itu merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi lembaga keluarga. Secara umum fungsi lembaga keluarga dapat diartikan sebagai pekerjaan maupun tugas-tugas yang harus dilaksanakan (oleh masingmasing anggota) di dalam keluarga itu dan atau oleh keluarga itu. 

Fungsi lembaga keluarga ini dilakukan terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai warga masyarakat. Adapun secara sosiologis, kebutuhan dasar hidup manusia yang terpenting meliputi kebutuhan biologis, rasa aman, ekonomi, agama, dan sosial. 

Jadi dapatlah disimpulkan bahwa keluarga melalui aturan serta normanormanya berperan mengatur perilaku dan tindakan individu di dalam keluarga, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup individu tersebut sebagai anggota masyarakat keluarga.

Di antara berbagai fungsi lembaga keluarga tersebut terdapat fungsi yang cukup penting di dalam pembentukan kepribadian seseorang. Fungsi tersebut adalah fungsi sosial. Dengan fungsi ini lembaga keluarga berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya bekal selengkap-lengkapnya untuk terjun ke dalam masyarakat. 

Melalui fungsi ini individu diperkenalkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan-peranan yang diharapkan akan mereka jalankan kelak bila ia sudah dewasa. Dengan demikian terjadi apa yang dinamakan dengan istilah proses sosialisasi. 

Selanjutnya melalui proses sosialisasi tersebut maka lembaga keluarga berperan mengatur dan mengarahkan individu untuk berperan dan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan demikian melalui proses sosialisasi yang diarahkan oleh pranata keluarga tersebut, akan terjadilah apa yang dinamakan proses pewarisan nilai-nilai kebudayaan. 

Sedangkan nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan itu adalah nilai-nilai kebudayaan yang telah dimiliki oleh generasi tua seperti ayah, ibu, nenek, canggah, wareng, dan seterusnya. Adapun bentukbentuk nilai budaya itu misalnya berupa sopan santun, bahasa (tutur kata), cara bertingkah laku, ukuran tentang baik-buruknya perbuatan, dan lain-lain. 

Selanjutnya, dengan melalui nasehat-nasehat serta laranganlarangan, orang tua menyampaikan norma-norma hidup tertentu dalam bertingkah laku. Jadi, melalui proses pewarisan nilai-nilai budaya (sosialisasi) yang diatur dan diarahkan oleh lembaga keluarga ini individu sebagai bagian dari makhluk sosial akan terbentuk kepribadiannya.

2. Lembaga Keagamaan 

Beragama merupakan cerminan orang yang beradab. Dengan beragama seseorang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah. Agama adalah pedoman hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 

Pranata agama mengarahkan manusia sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang sangat berguna bagi kehidupan seseorang, sehingga pranata tersebut diharapkan dapat menuntun seseorang menuju ke kehidupan yang hakiki di akhirat. 

Jadi, agama mempunyai peranan penting dalam mengatur kehidupan manusia. Agama merupakan sistem keyakinan (religi) dan praktek dalam masyarakat yang telah dirumuskan dan dibakukan serta dianut secara luas. 

Sebagai institusi yang dianut dan dikenal luas dalam masyarakat, agama merupakan institusi yang banyak ragamnya dan berva-riasi di dalam masyarakat. Namun sebagai institusi yang terus berkembang, agama dapat dikatakan pula sebagai general institutions dan restricted institutions. 

Dikatakan sebagai general institutions, oleh karena hampir dikenal oleh seluruh masyarakat di dunia. Sedangkan sebagai restricted institutions oleh karena dianut oleh masyarakat-masyarakat tertentu di dunia. 

Dalam pranata (ajaran) agama sebenarnya terkandung dua macam dimensi, yakni vertikal dan horisontal. Secara vertikal pranata agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam dimensi ini agama mengajarkan kepada pemeluk-pemeluknya agar selalu berbakti (taat) dan menyembah kepada Tuhan. 

Sementara dimensi horisontal mengajarkan agar manusia selalu berbuat baik kepada sesamanya, dan makhluk hidup yang lain termasuk terhadap lingkungan. Secara umum, semua agama di dunia (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain) memang mengajarkan kepada manusia untuk selalu berbuat kebajikan. 

Kebajikan seperti itu sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat, manusia, dan agama melalui pranata-pranatanya membantu manusia untuk mentaati kebenaran dan kebajikan-kebajikan seperti itu. Misalnya, jika seseorang suka berbuat baik seperti suka menolong, gemar beribadah dan bersedekah, ramah lingkungan, dan lain-lain maka akan mendapat pahala, dan surga adalah balasannya kelak. 

Sebaliknya, jika seseorang gemar berbuat tidak baik atau jahat seperti suka mencuri, menipu, berbuat bohong, dan lain-lain, sementara terhadap lingkungan alam juga demikian misalnya suka menyiksa dan merusak lingkungan, maka akan mendapatkan dosa. 

Jika orang berbuat dosa maka balasannya adalah mendapatkan siksa atau neraka di akherat kelak. Dengan demikian, jika pranata-pranata agama di atas dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat maka bukan hanya ketenangan batin yang ia dapatkan, namun secara lahiriyah akan terjadi pula ketenangan dan keselarasan dalam masyarakat. 

3. Lembaga Ekonomi 

Upaya manusia untuk mencapai kesejahteraan materialnya akan diarahkan melalui lembaga ekonomi. Lembaga ekonomi adalah sistem norma yang mengatur kegiatan ekonomi, meliputi cara-cara berproduksi, distribusi, dan konsumsi (pemakaian) barang dan jasa yang diperlukan bagi setiap manusia, untuk kelangsungan hidupnya. 

Berdasarkan pengertian di atas, maka kegiatan ekonomi pada garis besarnya meliputi tiga kegiatan pokok, yakni produksi, distribusi, dan konsumsi barang-barang dan jasa. 

a. Kegiatan Produksi 

Berbicara masalah ekonomi adalah berbicara persoalan pilih-memilih, yakni bagaimana orang memilih sumber daya yang langka dan terbatas itu untuk diproduksi. Sedangkan berbicara masalah produksi adalah berbicara masalah cara-cara bagaimana manusia menghasilkan barangbarang dan jasa. 

Kegiatan produksi tersebut biasanya sangat berkaitan erat dengan sistem mata pencaharian penduduk yang banyak ragamnya, mulai dari yang paling sederhana seperti berburu dan meramu makanan (pada masyarakat primitif), bercocok tanam sederhana (berladang), pertanian (bersawah), peternakan, perkebunan, perdagangan sampai yang paling modern seperti perindustrian, pertambangan, pariwisata, perhotelan, perbankan, dan lain-lain.

b. Kegiatan Distribusi 

Distribusi merupakan kegiatan menyalurkan barang-barang atau jasa kepada pemakai, yang prosesnya antara lain meliputi : 

  1. Resiprositas (timbal balik), yakni pertukaran barang dan jasa yang kira-kira sama nilainya antara kedua belah pihak. 
  2. Redistribusi atau pendistribusian, yaitu bentuk pertukaran barang yang masuk ke suatu tempat misalnya pasar, toko, dan sebagainya, dari tempat ini barang selanjutnya didistribusikan kembali. 
  3. Pertukaran pasar, yakni pertukaran atau perpindahan barang dari pemilik yang satu ke pemilik yang lain. Pada prinsipnya, pasar menentukan harga berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan, dan tidak peduli di manakah transaksi itu dilakukan. 

c. Kegiatan Konsumsi 

Setelah melalui proses pendistribusian, maka barang-barang dan jasa yang telah dihasilkan oleh produsen selanjutnya dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kegiatan konsumsi merupakan kegiatan masyarakat dalam rangka memakai dan memanfaatkan barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Namun karena barang-barang dan jasa yang terjadi di alam ini terbatas, maka sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi diupayakan agar manusia dapat selalu menghemat dalam pemakaiannya. Dalam pemakaian barang-barang yang tidak dapat diperbarui (habis pakai) seperti bensin, minyak tanah, batu bara, dan lain-lain, maka sebaiknya manusia selalu menghematnya. 

Pemakaian yang terlalu berlebihan (boros) dan semena-mena akan menyebabkan sumber daya alam tersebut akan cepat habis. Jika persediaan sumber alam (bahan-bahan tambang/galian) tersebut habis tentunya yang akan menanggung resikonya adalah seluruh umat manusia di muka bumi ini. 

Cobalah kalian bayangkan, bagaimana seandainya bahan-bahan tambang tersebut habis? Bagaimana kita mau bepergian? Bagaimana pabrik-pabrik beroperasi? Bagaimana jika rumah makan-rumah makan tutup? 

Bagaimana pula jika ibu-ibu kalian di rumah juga tidak dapat memasuk oleh karena tidak ada persediaan bahan bakar berupa gas atau minyak tanah? Dengan demikian kesulitan-kesulitan hidup akan timbul di mana-mana, dan di seluruh sektor kehidupan. 

Itulah gambarannya jika sumber-sumber alam (bahan tambang) di dunia ini benar-benar habis atau semakin langka jumlahnya! 

Di samping itu, untuk pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang dapat diperbarui (tidak habis pakai), juga harus demikian. Jadi meskipun sumber-sumber daya tersebut dapat diperbarui, namun jika pemakaiannya terlalu berlebihan (boros) dan semena-mena, juga dapat mengganggu kehidupan manusia, misalnya saja merusak lingkungan. 

Sebagai contoh, jika ada pengusaha hutan yang tidak memperhatikan lingkungan dalam aktivitas pemanfaatan hutannya maka dapat berakibat fatal bagi lingkungan alam di sekitarnya. Misalnya, dengan menebangi hutan secara sembarangan, sehingga semua tanaman ditebang, maka akibatnya akan mudah terjadi erosi apabila musim hujan tiba. 

Sebab dengan kondisi yang demikian, air hujan yang sampai ke permukaan bumi tidak dapat lagi di tahan oleh hutan yang sudah gundul, dan air akan langsung jatuh ke tanah sehingga tanahpun lama-kelamaan tidak dapat menahan atau menyerap air hujan yang deras. 

Dengan demikian akibatnya mudah ditebak, yakni terjadi erosi tanah dan banjir khususnya di wilayah-wilayah yang lebih rendah dari hutan. Itulah sebabnya, sesuai dengan prinsip-prinsip maupun pranata ekonomi maka dalam pemanfaatan sumber-sumber daya alam untuk kebutuhan manusia itu agar lebih efisien dan lebih efektif, serta tidak merusak lingkungan alam. 

Dalam kaitan ini berlaku semacam hukum ekonomi, yakni pemanfaatan atau penggunaan barang (dan termasuk jasa) harus lebih efisien, efektif, atau secara ekonomis. Di samping itu, selain pemanfaatan sumber daya secara ekonomis, juga yang ramah lingkungan (tidak merusak lingkungan alam). 

Jika manusia telah dapat memanfaatkan sumber-sumber daya tersebut (alam, manusia/jasa) secara lebih efisien dan efektif, serta tidak merusak lingkungan, maka akan terjadi semacam keseimbangan kehidupan di alam ini.

4. Lembaga Pendidikan 

Usaha pendidikan sering ditafsirkan sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang lain agar mencapai kedewasaan atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. 

Pada masyarakat primitif hampir tidak memiliki sistem pendidikan dalam artian formal. Anak-anak mempelajari segala sesuatu yang perlu mereka ketahui dengan cara menyaksikan apa saja yang sedang berlangsung dan membantu suatu pekerjaan apabila dianggap praktis. 

Cara pengajaran semacam itu merupakan bentuk yang paling mirip dengan "lembaga pendidikan", yang bisa ditemukan pada masyarakat sederhana. Pengajaran semacam itu, bukanlah sebuah lembaga pendidikan, melainkan hanya merupakan sebagian dari tugas keluarga. 

Sekolah mulai lahir ketika kebudayaan telah menjadi sangat kompleks, sehingga pengetahuan yang dianggap perlu tidak mungkin lagi ditangani dalam lingkungan keluarga, sehingga lahirlah "guru" dan "kelas" dalam artian formal. 

Pada tahap itulah, yakni ketika telah terdapat orang-orang yang berspesialisasi sebagai guru dan terdapat anak-anak didik dalam kelas-kelas formal yang berlangsung di luar lingkungan keluarga, dan ketika telah ditemukan cara yang pantas untuk mendidik anak-anak tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa lembaga pendidikan pada waktu itu telah lahir. 

Pendidikan yang berlangsung di sekolah dan kelas-kelas formal tersebut merupakan pendidikan yang bersifat formal. Sedangkan pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga dinamakan pendidikan informal. 

Namun ketika sekolah dan kelas-kelas formal serta lingkungan keluarga tersebut masih belum cukup efektif dalam memenuhi kebutuhan sebagian anak didik dalam mengembangkan mental dan ketrampilannya, maka lahirlah bentuk lembaga pendidikan yang ketiga, yakni yang disebut lembaga pendidikan non formal. 

Pendidikan non formal adalah suatu sistem pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat, di luar keluarga dan sekolah. 

Berbeda dengan pendidikan keluarga maupun sekolah, pendidikan non formal ini memberikan pelayanan berupa pendidikan ketrampilan praktis dan sikap mental yang fungsional serta relevan agar mereka mampu meningkatkan mutu dan taraf hidup serta mampu berpartisipasi aktif dalam proses pembaruan dan pembangunan.

Karakteristik (ciri-ciri) pendidikan informal, formal, dan non formal: 

Pendidikan informal adalah sebagai berikut: 

  • Proses pendidikannya tanpa terikat oleh ruang dan waktu. 
  • Proses pendidikan dapat berlangsung tanpa adanya guru dan murid, namun antara anggota keluarga. 
  • Tidak menggunakan metode tertentu sebagaimana dikenal dalam dunia pendidikan formal. 

Pendidikan formal (sekolah) adalah sebagai berikut: 

  • Kegiatan belajar mengajar umumnya dilakukan di dalam kelas. 
  • Terdapat semacam persyaratan usia serta pengelompokan usia ke dalam kelas-kelas tertentu. 
  • Untuk mengendalikan jalannya pelajaran, diatur dengan jadwal yang telah dirancang sebelumnya. 
  • Materi pelajaran disusun berdasarkan kurikulum, dan dijabarkan dalam sejumlah silabus. 
  • Proses belajar diatur secara tertib, terstruktur serta terkendalikan. 
  • Materi pelajaran bersifat akademis intelektualitas, berkelanjutan, serta penyampaiannya menggunakan metode yang sistematis. 
  • Ada sistem evaluasi, ada laporan hasil belajar (raport), dan ada semacam penghargaan yang diberikan dalam bentuk sertifikat, ijazah atau surat tanda tamat belajar. 
  • Terdapat anggaran pendidikan yang dirancang untuk kurun waktu tertentu serta masa studi siswa dibatasi dalam kurun waktu tertentu 

Pendidikan non formal adalah sebagai berikut: 

  • Program pendidikannya disesuaikan dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan belajar yang sifatnya mendesak. 
  • Waktu belajarnya lebih singkat serta tidak terlalu banyak biaya. 
  • Materi pelajarannya bersifat praktis-pragmatis dengan maksud dapat segera dimanfaatkan. 
  • Masalah usia tidak begitu dipersoalkan, dan tidak mengenal kelas atau jenjang secara ketat. 
  • Waktu dan tempat belajar disesuaikan dengan situasi dan kondisi para peserta didik serta lingkungannya. 
  • Tujuan pendidikan mengarah kepada diperolehnya lapangan kerja bagi para peserta didik atau untuk meningkatkan pendapatannya. 

Anak didik belajar (mengikuti pendidikan), baik di lingkungan pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah), maupun non formal (masyarakat), adalah bagian dari proses sosialisasinya. 

Sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, sosialisasi adalah proses pengenalan dan pentransferan nilai-nilai kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, atau dari mereka yang sudah dewasa atau matang mentalnya kepada mereka yang belum dewasa atau belum matang mentalnya. 

Sesuai norma-norma dalam pendidikan, maka nilai-nilai budaya itu diajarkan atau disosialisasikan kepada anak didik atau seseorang yang belum matang mentalnya, untuk selanjutnya diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. 

Nilai-nilai tersebut misalnya, nilai tentang kesusilaan, nilai tentang kejujuran, nilai tentang kesopanan, nilai tentang kebersihan, nilai tentang kerjasama, dan lain-lain. Di samping itu, melalui pendidikan anak-anak didik juga diajari beberapa nilai yang berkaitan dengan pengetahuan seperti penguasaan ilmu dan teknologi, serta beberapa ketrampilan khusus (tertentu). 

Dengan demikian, atas penyerapan dan penguasaan beberapa nilai serta pengetahuan tersebut maka anak didik atau seseorang yang belum dewasa (belum matang mentalnya), akan tumbuh dan berkembang menuju ke arah kedewasaan mental. 

Untuk kepentingan pembangunan, hal tersebut sangat positif, sebab orang-orang semacam itulah yang akan menjadi pribadi-pribadi tangguh, berkemauan tinggi untuk maju, serta menjadi warga masyarakat yang baik karena jujur dan bertanggung jawab.

5. Lembaga Politik 

Secara umum politik sering diartikan sebagai urusan pemerintahan negara. Sedangkan pranata berarti sistem norma atau aturan-aturan yang menyangkut aktivitas masyarakat yang bersifat khusus, seperti dalam ekonomi, pendidikan, kesenian, agama, politik, dan lain-lain. 

Dengan demikian, pranata politik dapat diartikan sebagai sistem norma atau aturan-aturan yang menyangkut suatu aktivitas masyarakat dalam hal urusan pemerintahan negara. Pemerintahan negara, sebagai bentuk (wujud) utama dari lembaga yang melaksanakan pranata politik, memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan bentuk lembaga atau organisasi lainnya. 

Sifat-sifat lembaga pemerintahan negara tersebut antara lain : 

  1. Sifat memaksa, yakni bahwa setiap pemerintahan negara dapat memaksakan kehendak dan kekuasaannya, baik melalui jalur hukum, maupun jalur kekuasaan atau kekerasan. 
  2. Sifat monopoli, yakni bahwa setiap pemerintahan negara menguasai hal-hal tertentu demi tujuan negara tanpa saingan. 
  3. Sifat totalitas, yakni bahwa semua hal tanpa kecuali mencakup kewenangan pemerintahan negara, misalnya semua orang harus membayar pajak, semua orang wajib membela negara, semua orang berdasarkan hukum, dan sebagainya. 

Di samping ketiga sifat dasar (pokok) tersebut, secara umum setiap pemerintahan negara juga memiliki empat fungsi utama bagi setiap rakyatnya, yakni : 

  • Fungsi pertahanan dan keamanan. 
  • Fungsi pengaturan dan ketertiban. 
  • Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran. 
  • Fungsi keadilan menurut hak dan kewajiban. 

Negara merupakan wadah yang memungkinkan seseorang dapat mengembangkan bakat dan potensinya. 

Negara dapat memungkinkan rakyatnya maju berkembang serta menyelenggarakan daya cipta atau kreativitasnya secara bebas, bahkan negara berhak memberi pembinaan dan perlindungan. 

Oleh karena itu, sejauh manakah fungsi-fungsi pemerintahan negara itu dapat terlaksana dengan baik sangat tergantung pada partisipasi politik semua warga negaranya, di samping mobilisasi sumber daya kekuatan negaranya.

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya memengaruhi kebijakan pemerintah, termasuk juga melaksanakan programprogram yang sudah menjadi keputusan politis bersama antara pemerintah dan masyarakat. 

Berbicara masalah partisipasi warga negara dalam kehidupan politik juga tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan budaya politik di mana pemerintahan tersebut berlangsung. Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. 

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. 

Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson (1982), kebudayaan politik Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massanya. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan ketrampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat, termasuk pada kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. 

Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan politik yang dimiliki oleh seseorang sebagaimana disebutkan di atas, maka orientasiorientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahannya dapat dibagi menjadi tiga macam golongan. 

Pertama, budaya politik partisipan, yakni jika orang atau warga negara tersebut melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekurang-kurangnya dalam pemberian suara (voting) dan mencari informasi tentang kehidupan politik negara atau pemerintahannya. 

Kedua, budaya politik subyek, yakni jika orang tersebut hanya pasif saja kepatuhannya terhadap pemerintah dan Undang-Undang Negara, misalnya dengan tidak ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu). 

Ketiga, budaya politik parokial, yakni golongan orang-orang yang sama sekali tidak menyadari adanya pemerintahan dan politik. Dengan demikian, agar fungsi dan program-program politik suatu pemerintah dapat berjalan dengan baik, maka sangat diperlukan adanya keterlibatan secara aktif dari setiap warga negaranya dalam kehidupan politik atau pemerintahan negara. 

Menurut Myron Weiner, seperti dikutip Syahrial S, dkk (2002 : 69) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi warga negara yang lebih luas dalam proses politik, antara lain: 

  1. Adanya modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak terlibat dalam urusan politik. 
  2. Terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur kelas sosial. 
  3. Semakin banyak munculnya kaum intelektual dan komunikasi massa modern. 
  4. Semakin meluasnya peranan pemerintah dalam urusan-urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dengan semakin meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering pula merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. 

Di samping keempat hal yang sudah disebutkan di atas, maka agar sistem politik (pemerintahan) yang dianut oleh suatu negara (penguasa) cepat dan bisa diterima oleh seluruh anggota masyarakat (warganegara), sehingga partisipasi masyarakat juga ada, atau bahkan meningkat, maka diperlukan adanya sosialisasi politik yang terus-menerus dari penguasa (elite) kepada masyarakat (massa). 

Yang dimaksud sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat. Jadi, dengan proses sosialisasi politik inilah diharapkan, para anggota masyarakat dapat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. 

Proses ini berlangsung seumur hidup melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal, di samping ada pula yang berlangsung secara tidak disengaja seperti melalui kontak-kontak pergaulan ataupun pengalaman sehari-hari yang diperoleh seseorang, baik dalam kehidupan keluarga, maupun masyarakat pada umumnya. 

Adapun metode sosialisasinya dapat berupa pendidikan politik maupun indoktrinasi politik. Jika melalui pendidikan politik maka prosesnya melalui dialog sehingga masyarakat mengenal nilai, norma, dan simbol-simbol politik. 

Sedangkan jika indoktrinasi politik maka prosesnya hanya sepihak, sebab hanya dilakukan oleh penguasa dengan cara memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima begitu saja nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol yang dianggap oleh pihak yang berkuasa adalah ideal dan baik. 

Sosialisasi politik merupakan salah satu proses yang mana individuindividu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. 

Meskipun sosialisasi politik ini juga belum menjamin terjadinya perubahan pada perilaku individu terhadap partisipasi politiknya, namun upaya yang terus-menerus dari pemerintah (negara) dalam mensosialisasikan sistem poitiknya diharapkan akan memberi kontribusi yang nyata terhadap perilaku positif individu sebagai warganegara. 

Selain hal tersebut, upaya-upaya yang sifatnya intern (dari dalam) pemerintahan sendiri untuk selalu mengadakan koreksi diri atas segala kelemahan maupun kelebihan-kelebihan dari sistem politik yang telah dijalankannya adalah sesuatu yang sangat penting bagi upaya menegakkan sebuah sistem politik.

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Peran dan Fungsi Lembaga Sosial"

close