Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Urgensi Reformasi Sistem Kesehatan Nasional

Urgensi Reformasi Sistem Kesehatan Nasional

Pandemi Covid-19 memberikan pembelajaran dan refleksi penting bahwa sistem kesehatan nasional (SKN) kita masih lemah, khususnya kemampuan pencegahan termasuk testing, tracing, dan tracking serta kemampuan penanganan lonjakan kasus pada pelayanan kesehatan di masa pandemi termasuk sulitnya mobilisasi sumber daya kesehatan seperti fasilitas kesehatan, kefarmasian dan alat kesehatan, tenaga kesehatan, laboratorium, dan pembiayaan kesehatan. 

Pembelajaran penanganan pandemi Covid-19 tersebut menjadi salah satu dasar urgensi perlunya penguatan pencegahan penyakit dan penguatan sistem kesehatan nasional (Bappenas, 2021). Pandemi Covid-19 menjadi titik balik dan momentum yang tepat untuk reformasi sistem kesehatan nasional. 

Menilik kembali yang terjadi dalam 20 tahun terakhir, Indonesia membutuhkan reformasi berupa perbaikan menyeluruh pada sistem kesehatan nasional, tidak hanya memastikan surveilans dapat semakin baik dilakukan selama pandemi Covid-19 terjadi dan belum berakhir, namun juga memastikan Indonesia siap menghadapi ancaman wabah/outbreak/pandemi dan kedaruratan kesehatan lainnya. 

Beberapa pembelajaran penting atas kurangnya kapasitas respons sistem kesehatan nasional pada masa pandemi Covid-19 tersebut, antara lain : 
  • Pemanfaatan teknologi informasi untuk surveilans dan pemantauan protokol kesehatan masyarakat; 
  • Kapasitas pencegahan dan mitigasi yang ditunjukkan dengan kemampuan testing - tracing - tracking yang tidak cepat dan jumlah terbatas, sistem surveilans penyakit belum terintegrasi dan belum berjalan real-time, serta terbatasnya jumlah laboratorium terstandar minimal BSL-2 dan BSL-3; 
  • Komunikasi risiko di awal pandemi Covid-19; 
  • Kapasitas fasilitas kesehatan yang terbatas dalam menghadapi surge capacity yang ditunjukkan dengan belum cukupnya jumlah fasilitas isolasi, ruang rawat inap, IGD RS, kurangnya APD bagi tenaga kesehatan di awal masa pandemi, dan manajemen kasus lemah/tata laksana kasus sebagai panduan pelayanan kesehatan belum jelas; 
  • Mekanisme mobilisasi pembiayaan kesehatan termasuk masih rendahnya keterlibatan pembiayaan sektor non-pemerintah; dan 
  • Masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan dan penolakan vaksinasi Covid-19. 
International Health Regulation (IHR) 2005 mengamanatkan kepada setiap negara anggota untuk memiliki kapasitas inti dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons cepat risiko kesehatan masyarakat. 

Hasil penilaian Joint External Evaluation (JEE) yang dilaksanakan tahun 2017 menunjukkan keterbatasan kapasitas teknis antara lain pada mekanisme respons terhadap penyakit menular dan penyakit yang berpotensi zoonosis, integrasi dan analisis data surveilans, identifikasi risiko kesehatan masyarakat, serta kesiapan dan respons operasional tanggap darurat (Kemenkes, 2019 & WHO, 2017). 

Indonesia sudah mengatur penanganan wabah penyakit sebagaimana UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Pada tanggal 17 Juni 2019 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia sebagai dasar hukum untuk upaya mewujudkan health security dan health resillience. 

Namun, implementasi kegiatan yang mengacu pada regulasi tersebut belum didukung dengan kapasitas sistem kesehatan nasional yang optimal. Penguatan sistem kesehatan nasional pada dasarnya telah diamanahkan sebagai salah satu strategi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 untuk mengatasi permasalahan pembangunan kesehatan. 

Angka kematian ibu (305 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015-SUPAS 2015) dan prevalensi stunting balita (24,4% pada 2021-SSGI 2021) masih tergolong tinggi dan perlu kerja keras untuk menurunkannya. 

Saat ini Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia dalam hal insidensi TBC, yaitu 301 per 100.000 penduduk pada tahun 2020 (Global TB Report, 2021). Dalam hal pelayanan kesehatan, pemenuhan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan masih kurang, hingga triwulan III tahun 2021 baru 56,4% FKTP dan 88,4% RS terakreditasi dan masih ada 4,97% puskesmas tanpa dokter. 

Presiden RI dalam Rapat Terbatas pada tanggal 5 Januari 2021 memberikan arahan untuk melakukan reformasi sistem kesehatan nasional yang kemudian diterjemahkan Kementerian PPN/Bappenas dalam kebijakan Major Project Reformasi Sistem Kesehatan pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2022. 

Reformasi sistem kesehatan nasional dibutuhkan tidak hanya quick win sebagai respons atas terjadinya pandemi Covid-19, namun juga diperlukan untuk meningkatkan kapasitas sistem kesehatan nasional yang kuat dalam jangka menengah dan panjang untuk menciptakan sistem kesehatan nasional yang resilien dan mengantisipasi terjadinya pandemi penyakit di masa mendatang (disease of tomorrow), sekaligus sebagai respons terhadap berbagai permasalahan kronis pembangunan kesehatan nasional yang belum selesai. 
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Urgensi Reformasi Sistem Kesehatan Nasional"

close