Perjanjian Asuransi yang SAH
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Akan tetapi, tentu saja, perjanjian asuransi tidak boleh terlepas dari syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 BW. Menurut ketentuan Pasal 1320 BW, terdapat 4 syarat sahnya Perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan (Consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokonya meliputi :
- Obyek Asuransi;
- Pengalihan resiko dan Pembayaran Premi;
- Evenemen dan ganti kerugian;
- Syarat-syarat khusus asuransi.
Kesepakatan menjadi dasar berlakunya Perjanjian Asuransi. Sehingga Berlakunya Perjanjian Asuransi bukan pada saat penandatangan polis atau pada saat penyerahan polis.
Keberlakuan Perjanjian Asuransi adalah pada saat Kesepakatan, hal ini sebagaimana tercantum di dalam Pasal 257 KUHD, yaitu Perjanjian Pertanggungan ada seketika setelah hal itu diadakan; hak mulai saat itu, malahan sebelum Polis ditandatangani dan kewajiban kedua belah pihak dari penanggung dan tertanggung berjalan akan tetapi tentu saja untuk hal tersebut harus ada pembayaran premi terlebih dahulu dari Tertanggung kepada Penanggung, sebab berdasarkan Pasal 246 KUHD, tidak dianggap telah terjadi Perjanjian Pengalihan Resiko atau Perjanjian Asuransi tanpa adanya pembayaran Premi.
Hal tersebut pula yang membawa kewajiban bagi tertanggung untuk segera menandatangani dan menyerahkannya kepada Tertanggung, dalam batas wakru maksimal 24 jam, apabila tidak ditentukan dalam jangka waktu lebih panjang oleh ketentuan undang-undang (Pasal 259 KUHD).
Perkecualian tersebut adalah apabila Perjanjian Asuransi tersebut dilakukan secara tidak langsung atau dengan melalui perantara, maka batas waktunya adalah 8 hari setelah melakukan perjanjian (Pasal 260 KUHD).
Akan tetapi apabila terjadi permasalahan, maka untuk pembuktian telah terjadi asuransi adalah tetapi dengan adanya pembuatan bukti tertulis (Pasal 258 KUHD), akan tetapi karena Pasal 259 KUHD hanya mencantumkan adanya bukti tertulis, sehingga apabila diperbolehkan untuk alat bukti lainnya yang dibuat secara tertulis.
2. Kecakapan atau Kewenangan (Authority)
Kecakapan dalam perjanjian asuransi dapat dinyatakan dengan dengan kewenangan atau wewenang dari kedua belah pihak, baik itu dari pihak Penanggung ataupun dari pihak Tertanggung.
Kewenangan tersebut ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifta obyektif, tentu saja dalam hal ini kewenangan yang bersifat subyektif adalah terkait dengan kedewasaan.
Di mana tentu saja usia dari para pihak harus cakap hukum, di mana kecakapan ini diatur di dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 dan UU notaris, yaitu 18 tahun, sehat ingatan, tidak dibawah perwalian atau pemegang kuasa yang sah.
Syarat obyektif, adalah terkait dengan kewenangan para pihak dalam mewakili suatu perusahaan (hal ini apabila Penanggung dan Tertanggung berbentuk Perseroan Terbatas), selain itu adalah adanya hubungan kepentingan antara Tertanggung dengan obyek asuransi, apabila Tertanggung tidak memiliki hubungan kepentingan dengan obyek, maka penanggung tidak wajib memberikan ganti kerugian (Pasal 250 KUHD).
Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah Tertanggung mencari keuntungan memperkaya diri dari pemberian ganti kerugian obyek asuransi yang bukan haknya. Pasal 264 KUHD mengatur bahwa Perjanjian Asuransi dapat pula dilakukan dengan beban pihak ketiga, baik berdasarkan amanat umum atau khusus, maupun di luar pengetahuan yang berkepentingan sekalipun, apabila pertanggungan tersebut diadakan tidak dinyatakan di dalam polisnya, maka pertanggungan tersebut dianggap dilakukan untuk dirinya sendiri (Pasal 267 KUHD).
Pertanggungan untuk pihak ketiga harus dengan tegas dinyatakan di dalam polisnya, apakah hal tersebut karena pemberian amanat atau diluar sepengetahuan yang berkepentingan, sebab Perjanjian asuransi tanpa adanya pemberian amanat adalah batal (Pasal 265 KUHD dan Pasal 266 KUHD).
3. Obyek Tertentu (Fixed Obyek)
Obyek asuransi dapat dikatakan sebuat harta kekayaan yang memiliki nilai ekonomi, sehingga dapat dihargai dengan sejumlah uang. Obyek asuransi ini memiliki hak subyektif yang tidak berwujud, hak subyektif ini disebut dengan kepentingan.
Artinya kepentingan akan selalui mengikuti dimana obyek asuransi itu berada. Pasal 268 KUHD memberikan pengertian mengenai kepentingan, yaitu :
- Dapat dinilai dengan uang;
- Dapat terancam bahaya;
- Tidak dikecualikan oleh Undang-Undang
Hal tersebut dengan maksud bahwa kepentingan tersebut memberi suatu ukuran akan adanya ganti kerugian berupa sejumlah uang.
Sedangkan Pasal 1. 25 UU no 40 tahun 2014 menyatakan bahwa obyek asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa,serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Terkait dengan obyek asuransi tersebut terdapat satu prinsip yang dianut, yaitu adanya sutau pemberitahuan yang jelas megenai obyek oleh Tertanggung, hal ini terkait dengan adanya perlindungan hukum bagi Penanggung dari ketidakjujuran Tertanggung.
4. Kausal yang Halal / diperbolehkan (Legal Cause)
Kausa yang halal atau diperbolehkan maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Dapat diartikan pula dengan obyek yang dilarang untuk diperdagangkan, tidak adanya kepentingan, tidak adanya pembayaran premi guna mengalihkan resiko.
Tentu saja untuk syarat sahnya perjanjian, apabila syarat pertama dan kedua yang merupakan syarat subyektif dilanggar, maka akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan dan apabila syarat ketiga dan syarat keempat yang dilanggar, maka akibat hukumnya adalah batal demi hukum.
Posting Komentar untuk "Perjanjian Asuransi yang SAH"