Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum universal atau tertib kosmis dalam Buddha

Dalam ajaran Buddha tidak dikenal adanya ‘Dewa Pencipta’. Jika tidak ada ‘Dewa Pencipta’ maka siapa yang mengatur tertibnya alam semesta? Dalam agama Buddha alam semesta diatur oleh suatu hukum universal yang disebut dengan Dhamma Niyama. 

Dhamma Niyama terdiri atas kata Dhamma yang artinya segala sesuatu dan Niyama artinya ketentuan atau hukum. Dengan demikian Dhamma Niyama berarti hukum universal atau hukum segala hal. Menurut ajaran Buddha, alam semesta dengan segala isinya diatur oleh hukum universal (Dhamma Niyama) yang berlaku di semua alam kehidupan, segala isi bumi, tata surya-tata surya maupun segala galaksi di jagat raya ini. 

Hukum universal atau tertib kosmis dalam Buddha

Dhamma Niyama adalah hukum yang bekerja dengan sendiri, bekerja sebagai hukum sebab akibat. Seluruh alam semesta diliputi olehnya. Jika bulan timbul dan tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah, hal ini tidak lain disebabkan oleh Dhamma Niyama. 

Dhamma Niyama merupakan hukum abadi yang meliputi alam semesta, yang membuat segala sesuatu bergerak sebagaimana dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu Fisika, Kimia, Biologi, Astronomi, Psikologi, dan sebagainya. 

Dhamma meliputi segala sesuatu yang bersyarat ataupun tidak bersyarat, yang muncul atau tidak muncul, serta yang nyata atau abstraks. Dhamma bukanlah ciptaan para Buddha, Dhamma tetap ada dan tetap akan ada selamanya. 

Para Buddha hanya penemu Dhamma, setelah menemukannya Beliau memerintahkannya kepada semua makhluk agar mereka yang telah siap dapat memperoleh manfaatnya. Dengan demikian, ada atau tidak ada Buddha, hukum abadi itu akan tetap ada sepanjang zaman, seperti yang disabdakan Buddha sebagai berikut:
“ O para Bhikkhu, apakah para Tatagatha muncul (di dunia) atau tidak, Dhamma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi”(Dhamma Niyama Sutta).

Hukum universal atau tertib kosmis terdiri atas lima rangkaian hukum, seperti dalam bagan berikut ini.

Hukum universal atau tertib kosmis dalam Buddha

1. Utu-niyama 

Utu Niyama adalah hukum universal tentang energi yang mengatur terbentuk dan hancurnya bumi, planet, tata surya, temperatur, cuaca, halilintar, gempa bumi, angin, ombak, matahari, hujan, gunung meletus; membantu pertumbuhan (metabolisme) manusia, binatang, dan pohon; atau segala sesuatu berupa fisik yang terbentuk dan hancur berkaitan dengan energi.

Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur padat (pathavi), cair (apo), api (tejo), dan vayo. Unsur padat atau “tanah” merupakan unsur yang bersifat “luasan” dan liat, yang berfungsi menjadi basis unsur lainnya. 

Unsur kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk ikatan tersebut; unsur ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan bakar; unsur keempat tidak dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya. Semua materi bahkan atom sekali pun membutuhkan unsur pathavi sebagai basisnya. 

Unsur cair atau “air” merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup. 

Unsur panas atau “api” merupakan unsur yang bersifat panas, yang memberikan fungsi panas dan dingin pada unsur lainnya. Karena unsur ini, semua materi dapat dihasilkan kembali untuk tumbuh dan berkembang setelah mencapai kematangan. 

Unsur angin atau secara harafiah berarti “udara” merupakan unsur yang bersifat gerakan dan memberikan fungsi gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini membentuk kekuatan tarikan dan tolakan pada semua materi. Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang tetap, dapat bertambah kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk bertambah, dan berkurang kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk berkurang. 

Misalnya, dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan gerak yang cukup sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat cair unsur panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya memberi sifat ikatan. 

Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam semesta. Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena pada dunia materi dan merupakan bentuk awal dari unsur panas.

Hukum energi merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat rangkaian pembentukan, kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam semesta. Ia juga mengatur pergantian musim dan menentukan musim di mana tumbuhan menghasilkan bunga dan buah. 

2. Bija-niyama 

Bija Niyama adalah hukum universal yang berkaitan dengan tumbuhtumbuhan, yaitu bagaimana biji, stek, batang, cabang, ranting, pucuk, daun dapat bertunas, bertumbuh, berkembang, dan berbuah. Kemudian dari satu bibit menghasilkan buah yang banyak, atau dari bibit yang kecil menumbuhkan pohoh yang besar, dan lain-lain. Bija berarti “benih” di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai bentuk. 

Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan.

Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk semua jenis tumbuhan lainnya. 

3. Kamma-niyama 

Kamma Niyama adalah hukum universal tentang karma/perbuatan. Kamma Niyama dikenal sebagai hukum yang berkaitan dengan moral atau sering juga disebut Hukum Karma. Keterangan rinci tentang hukum perbuatan (Hukum Karma) dapat dilihat pada uraian pada buku Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas XI. Hukum Karma adalah hukum perbuatan yang didasarkan kehendak atau niat. 

Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali: “Para bhikkhu, kehendak itulah yang Kusebut perbuatan. Melalui kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan, atau pikiran” (Anguttara Nikaya, iii:415). Di sini kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). 

Dalam melakukan sesuatu, baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan langkah-langkah yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsifungsi ini terhadap objek yang diinginkan. 

Dalam melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses mental lainnya yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam pengertian ia memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua aktivitas mental cenderung bergerak dalam satu arah.

Hukum perbuatan mengatur sebab-akibat dari suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai dalam berbagai sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula Kamma VibhangaSutta: “Akibat dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan tidak melakukan pembunuhan menyebabkan umur panjang. 

Iri hati menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan kebaikan hati menghasilkan perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang, sedangkan kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan, sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. 

Pencurian menghasilkan kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran. Kesombongan berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan hati membawa kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan hilangnya kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari pergaulan dengan orang bijaksana.

” Di sini pernyataan “membunuh menyebabkan umur pendek” mengandung makna bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau makhluk lainnya, perbuatan ini menyediakan akibat untuk terlahir kembali dalam keadaan menderita dengan berbagai cara. 

Selama masa ketika ia terlahir kembali sebagai manusia, perbuatan tersebut menyebabkannya berumur pendek dalam ribuan kelahiran. Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk pernyataan sebab akibat yang lain di atas. Oleh karena itu, hukum karma juga dikenal sebagai hukum sebab-akibat perbuatan. 

4. Citta-niyama

Citta Niyama adalah hukum universal tentang pikiran atau batin, misalnya proses kesadaran, timbul dan tenggelamnya kesadaran, kekuatan pikiran (hasil dari Samatha Bhavana), kesucian batin: Sotapanna, Sakadagami, Anagami, atau Arahat (hasil dari Vipassana Bhavana). 

Contoh kekuatan batin, misalnya seolaholah seseorang dapat melayang-layang atau berjalan di angkasa, menyelam dalam tanah, memperbanyak diri, mengubah diri, mendengar suaran yang jauh atau dekat, melihat objek yang jauh atau dekat walaupun terhalang oleh dinding atau gedung maupun gunung, mengetahui pikiran orang lain, atau mengetahui kehidupan-kehidupan lampau, dan lain-lain. 

Citta berarti “ia yang berpikir” (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian yang menyadari suatu objek. Juga berarti menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. 

Hal ini dinyatakan dalam kitab Pali: “Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok (nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam rendah (binatang, burung, dan seterusnya). 

Makhluk-makhluk alam rendah ini hanya berbeda dalam pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka ragam dibandingkan makhlukmakhluk ini” (Citten’eva cittikata. Samyutta-Nikaya, iii. 152). Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga dikatakan “Pikiran menyenangi hal-hal yang buruk”. 

Oleh sebab itu, mahkluk-makhluk di alam rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih beraneka ragam dibandingkan semua makhluk lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dikatakan dalam kitab Pali: “O, para bhikkhu, Aku akan menyatakan bagaimana dunia berasal, dan bagaimana dunia berakhir. 

Apakah asal mula dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran penglihatan. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan. 

Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Dikondisikan oleh telinga dan objek-objek, oleh hidung, oleh lidah, oleh tubuh, dan seterusnya. dikondisikan oleh indera pikiran dan benda-benda muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini adalah kontak. 

Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan. Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut asal mula dunia.” “Apakah akhir dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objekobjek muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini disebut kontak. 

Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, karena keinginan sepenuhnya berakhir, ketamakan berakhir, karena ketamakan berakhir, kemenjadian berakhir. Demikianlah akhir dari seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Demikian halnya juga berhubungan dengan telinga dan alat indera lainnya. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut akhir dunia” (Samyutta-Nikaya, iv 87).

Di sini ungkapan “dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran mata, dan seterusnya” kondisi ini menunjukkan bahwa di dunia ini kesadaran dan proses pikiran orang-orang secara umum berbeda-beda dari momen ke momen dan menjadi sebab kelahiran mereka kembali dalam bentuk yang berbeda dalam kehidupan berikutnya. 

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda pada kehidupan yang akan datang dibuat dan diciptakan oleh pikiran pada kehidupan sekarang. Karena perbedaan kesadaran, persepsi juga berbeda. 

Karena perbedaan persepsi, keinginan berbeda, dan karena hal ini berbeda, maka perbuatan (kamma) berbeda. Beberapa orang juga berpendapat bahwa karena kamma berbeda, kelahiran kembali di alam binatang beraneka ragam. 

Hukum psikis mengatur tentang pikiran atau kesadaran yang berbeda-beda dalam fungsi dan kejadian. Ini diulas dalam kitab Patthana pada bab “Hubungan yang Berurutan”. 

5. Dhamma-niyama 

Dhamma Niyama adalah hukum universal tentang segala hal yang tidak diatur oleh keempat niyama tersebut di atas. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Dhamma (Sila, Samadhi, dan Panna) yang diajarkan oleh Buddha, setelah ditemukan-Nya. 

Sehubungan dengan Dhamma ini, juga termasuk semua kejadian yang didasarkan pada gejala khusus atau khas. Misalnya, kejadian yang terjadi saat kelahiran Pangeran Siddharta dan kematian (Parinibbana) Buddha pohon-pohon berbunga bukan pada musimnya, tiba-tiba pohon-pohon berbunga dan bungabunganya itu berjatuhan menaburi tubuh Pangeran Siddharta atau Buddha. 

Begitu pula, Dhamma Niyama menyebabkan gempa bumi terjadi ketika Buddha menentukan kapan Beliau akan Parinibbana dan pada saat Parinibbana, padahal biasanya gempa bumi diatur oleh Utu Niyama. Demikian juga gempa bumi terjadi ketika seorang Bodhisatta turun dari surga Tusita memasuki rahim ibunya, dan lain-lain (Digha-Nikaya, ii. 12).

Di antara khotbah-khotbah/sutta-sutta, keseluruhan Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta membahas tentang Dhamma-niyama. Dalam salah satu sutta disebutkan, “Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada, yaitu pembentukan Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat (Dhammatthitata Dhammaniyamata). 

Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada hubungan sebab akibat yang saling bergantungan)” (Samyutta-Nikaya, ii. 25). Ia juga disinggung dalam ungkapan, “Semua hal yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku.” Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan, “Ketika itu ada, ini ada. 

Dari kemunculan itu maka ini muncul. Ketika itu tidak ada, ini tidak ada. Ketika itu berakhir, maka ini berakhir” atau dalam pernyataan, “Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang berkondisi: dapat dipahami perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat dipahami perubahannya ketika ia masih bertahan. 

Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami, kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan, dan durasinya tidak dapat dipahami” (Anguttara-Nikaya, i 152). Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang mengatur alam semesta. 

Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik yang mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan sebagai Dhammaniyama. 

Dengan demikian, selain keempat hukum universal di atas, hukumhukum universal lainnya yang diajarkan Buddha juga termasuk dalam Dhamma Niyama yaitu Hukum Empat Kebenaran Mulia, Hukum Tumimbal Lahir, Hukum Tiga Corak Universal, dan Hukum Sebab Akibat yang Saling Bergantungan. 

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Hukum universal atau tertib kosmis dalam Buddha"

close