Proses perubahan sosial akan senantiasa berlangsung sepanjang
kehidupan umat manusia. Namun begitu, berlangsung cepat (lancar) atau
tidaknya suatu perubahan sosial akan sangat tergantung dari sedikit
banyak (ada tidaknya) faktor-faktor yang diduga dapat mendorong atau
menghambatnya.
Apabila di dalam suatu masyarakat terdapat banyak
faktor pendorongnya maka perubahan sosial akan cepat berlangsung, atau
apabila telah berlangsung maka akan semakin cepat atau lancar pula proses
berlangsungnya (perubahannya).
Namun sebaliknya, jika di dalam suatu
mayarakat banyak sekali faktor-faktor yang menghambatnya, maka akan
semakin sulit atau terhambat pula proses-proses perubahan sosial yang
akan terjadi. Lalu faktor-faktor apa sajakah kira-kira yang dapat dianggap
sebagai faktor pendorong maupun penghambatnya ?
Pada uraian berikut
ini akan dijelaskan tentang berbagai faktor yang diduga dapat
memengaruhi berlangsungnya proses perubahan sosial, baik yang bersifat
mendorong ataupun menghambatnya.
1. Faktor-faktor yang Mendorong Jalannya Proses Perubahan
Sosial
Proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat
berlangsung secara cepat atau lancar, dan dapat pula berlangsung secara
tidak cepat atau tidak lancar, misalnya saja dengan cara yang lambat atau
tersendat-sendat.
Adapun secara umum, faktor-faktor yang diperkirakan
dapat mendorong (memperlancar/mempercepat) bagi jalannya proses
perubahan sosial itu antara lain:
a. Adanya kontak dengan kebudayaan masyarakat lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion.
Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari
seseorang kepada orang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat
lain.
Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima
oleh masyarakat misalnya, dapat diteruskan dan disebarluaskan pada
masyarakat lain, sampai masyarakat tersebut dapat menikmati kegunaan
dari hasil-hasil peradaban bagi kemajuan manusia.
Maka proses semacam
itu merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan
memperkaya kebudayaan-kebudayaan umat manusia.
b. Adanya sikap terbuka nterhadap karya serta keinginan orang lain
untuk maju
Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk
maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan.
Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan
memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru.
Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya,
merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok
lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.
c. Adanya Sistem pendidikan formal yang maju
Sistem pendidikan yang baik
yang didukung oleh kurikulum adaptif
maupun fleksibel misalnya, akan
mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya.
Pendidikan formal, misalnya di sekolah,
mengajarkan kepada anak didik
berbagai macam pengetahuan dan
kemampuan yang dibutuhkan oleh
para siswa.
Di samping itu, pendidikan
juga memberikan suatu nilai-nilai
tertentu bagi manusia, terutama dalam
membuka pikirannya serta menerima
hal-hal baru dan juga bagaimana cara
berpikir secara ilmiah.
Namun jika
dikelola secara baik dan maju, pendidikan bukan hanya sekedar dapat mengajarkan pengetahuan,
kemampuan ilmiah, skill, serta nilai-nilai tertentu yang dibutuhkan siswa,
namun lebih dari itu juga mendidik anak agar dapat berpikir secara
obyektif.
Dengan kemampuan penalaran seperti itu, pendidikan formal
akan dapat membekali siswa kemampuan menilai apakah kebudayaan
masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya
atau tidak. Nah, di sinilah kira-kira peranan atau faktor pendorong bagi
pendidikan formal yang maju untuk berlangsungnya perubahanperubahan dalam masyarakat.
d. Sikap berorientasi ke masa depan
Adanya prinsip bahwa setiap manusia harus berorientasi ke masa
depan, menjadikan manusia tersebut selalu berjiwa (bersikap) optimistis.
Perasaan dan sikap optimistis, adalah sikap dan perasaan yang selalu
percaya akan diperolehnya hasil yang lebih baik, atau mengharapkan
adanya hari esok yang lebih baik dari hari sekarang.
Sementara jika di
kalangan masyarakat telah tertanam jiwa dan sikap optimistis semacam
itu maka akan menjadikan masyarakat tersebut selalu bersikap ingin maju,
berhasil, lebih baik, dan lain-lain. Adanya jiwa dan sikap optimistik, serta
keinginan yang kuat untuk maju itupula sehingga proses-proses perubahan
yang sedang terjadi dalam masyarakat itu dapat tetap berlangsung.
e. Sistem lapisan masyarakat yang bersifat terbuka (open
stratification)
Sistem stratifikasi sosial yang terbuka memungkinkan adanya gerak
vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan bagi individu-individu
untuk maju berdasar kemampuannya. Dalam keadaan demikian,
seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga
yang mempunyai status yang lebih tinggi.
Dengan demikian, seseorang
merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang
dianggapnya lebih tinggi dengan harapan agar mereka diperlakukan sama
dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan
superordinat-subordinat.
Pada golongan yang lebih rendah kedudukannya,
sering terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial yang
dimilikinya. Keadaan tersebut dalam sosiologi dinamakan “status-anxiety”.
“Status-anxiety” tersebut menyebabkan seseorang berusaha untuk
menaikkan kedudukan sosialnya.
f. Adanya komposisi penduduk yang heterogen
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai latar
belakang seperti kebudayaan, ras (etnik), bahasa, ideologi, status sosial,
dan lain-lain, atau yang lebih populer dinamakan “masyarakat heterogen”,
lebih mempermudah bagi terjadinya pertentangan-pertentangan ataupun
kegoncangan-kegoncangan.
Hal semacam ini juga merupakan salah satu
pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat.
g. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk
memperbaiki hidupnya
Nasib manusia memang sudah ditentukan oleh Tuhan, namun adalah
menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk senantiasa berikhtiar dan
berusaha guna memperbaiki taraf kehidupannya. Lagipula, menurut ajaran
agama juga ditekankan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu
umat (termasuk individu) selama umat (individu) tersebut tidak berusaha
untuk mengubahnya.
Dengan demikian tugas manusia adalah berusaha,
lalu berdoa, sedangkan hasil akhir adalah Tuhan yang menentukannya.
Adanya nilai-nilai hidup serta keyakinan yang semacam itu menyebabkan
kehidupan manusia menjadi dinamik, dan adanya dinamisasi kehidupan
inilah sehingga perubahan-perubahan sosial budaya dapat berlangsung.
h. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
Munculnya ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidangbidang kehidupan tertentu,
misalnya adanya pelaksanaan
pembangunan yang hanya
menguntungkan golongan tertentu, pembagian hasil pembangunan yang tidak merata,
semakin melebarnya jurang
pemisah antara si kaya dan si
miskin, dan lain-lain, dapat
menyebabkan terjadinya kekecewaan dalam masyarakat.
Bahkan jika dibiarkan sampai
berlarut-larut, hal semacam itu
dapat mengakibatkan terjadinya demo ataupun protes-protes yang
semakin meluas, atau bahkan kerusuhan-kerusuhan, dan revolusi. Dengan
demikian adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang
kehidupan tertentu dapat mendorong bagi bergulirnya perubahanperubahan sosial budaya.
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat
pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari
mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
- Adanya sikap masyarakat yang selalu terbuka terhadap setiap perubahan.
- Berkembangnya pola pemikiran yang positif terhadap hal-hal yang baru.
- Adanya sikap masyarakat yang selalu menyukai sesuatu yang baru.
- Adanya pengalaman yang luas dari masyarakat yang bersangkutan.
2. Faktor-faktor yang Menghambat Jalannya Proses Perubahan Sosial
Dalam dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat
mendorong bagi berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat
faktor-faktor yang dapat menghalangi atau menghambatnya. Adapun
faktor-faktor yang diperkirakan dapat menghambat atau menghalangi
bagi terjadinya proses perubahan sosial tersebut antara lain:
a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya
adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf
perkembangan budaya suatu masyarakat.
Sementara maju dan tingginya
taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut
akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi
hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan
terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat
yang bersangkutan.
b. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan
setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan
masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari
dunia luar.
Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui
perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di
luarnya.
Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang
masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang
bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan
misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya
bagi kebudayaan yang bersangkutan.
Oleh karena itu, faktor ketertutupan
atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain,
menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi
proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
c. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya
kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur
kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses
perubahan sosial budaya.
Memang harus diakui bahwa tidak mungkin
suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan
berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari
luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat
menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek
tertentu dalam masyarakat.
d. Adat dan kebiasaan
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta
kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota
masyarakat.
Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan
tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi
seluruh anggota masyarakat.
Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang
telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena
itu harus ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat, serta
bersifat mengikat.
Artinya,
apabila ada sebagian anggota
masyarakat yang tidak
mengindahkan aturan adat
maka akan mendapat sanksi
yang berat baik sanksi moral
maupun sosial dari masyarakat.
Sedangkan kebiasaan adalah
perbuatan yang pantas
dikerjakan maka diterima oleh
masyarakat.
Karena pantas
dikerjakan dan telah diterima
oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang
dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun)
sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap
anggota masyarakat.
Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga
memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota
berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa apabila dalam
masyarakat tersebut muncul nilai (budaya) serta kebiasaan-kebiasaan
baru yang akan menggeser kebiasaan-kebiasaan lama, apalagi sampai
menggeser adat kebiasaan yang selama ini telah menjadi pedoman serta
aturan yang dipegang teguh secara turun-temurun, maka nilai serta
kebiasaan-kebiasaan baru tersebut akan ditentang, atau bahkan
ditolaknya.
Misalnya nilai-nilai baru di masyarakat yang mengatakan
bahwa upacara hajatan dapat dilaksanakan kapan saja, karena pada
hakikatnya semua hari dan bulan itu baik sekalipun dilaksanakan di bulan
Suro (Muharram).
Sedangkan di Indonesia, khususnya di kalangan
masyarakat Jawa ada semacam keyakinan yang telah dipegang teguh
karena telah menjadi adat kebiasaan secara turun-temurun, ialah bahwa
menyelenggarakan acara hajatan di bulan Suro adalah suatu pantangan
(dilarang), sebab jika dilaksanakan akan mendatangkan mara bahaya
(bencana), khususnya bagi mereka yang tetap menyelenggarakannya.
Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya serta
memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang telah
mendarah daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup
dengan kencangnya.
e. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat
(vested interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan,
pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan
dalam suatu proses perubahan.
Pada masyarakat-masyarakat yang sedang
mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem
demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya
berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan.
Pada segolongan
masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan
diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi
mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam
suatu proses perubahan.
Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu
faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu
masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami
pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya
di dunia.
Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya
pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa
di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat.
Mereka tidak
akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah
diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada
munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu
terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat.
Selanjutnya, karena
secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal
dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap
ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan
kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut.
Dengan
demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap
kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain
bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat.
g. Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia
itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu
kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar.
Sementara jika manusia diberikan
kehidupan yang jelek, maka harus
diterimanya pula apa adanya
(nrimo ing pandum) serta dengan
penuh kepasrahan karena memang
nasib yang harus diterimanya
demikian.
Dengan demikian
manusia tidak perlu repot-repot
berusaha, apalagi sampai ngoyo,
karena tidak ada gunanya sebab
hasilnya pasti akan jelek, sebab
sudah ditakdirkan jelek.
Adanya
keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang
diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk
bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan
masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik.
Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga
di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada
perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara
lambat.
h. Hambatan yang bersifat ideologis
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya
setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur
kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang
berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi
terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena
itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi
jalannya perubahan-perubahan.
i. Sikap masyarakat yang sangat tradisional
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagungagungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi
tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan
bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan
dalam proses perubahan sosial budayanya.
Keadaan tersebut akan menjadi
lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga
berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang
notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan.
Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari
dalam masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses
perubahan sosial juga dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor
sebagai berikut:
- Adanya sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap
sesuatu yang baru yang dianggap dapat berdampak negatif.
- Adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan
mempertahankan sesuatu hal yang lama.
- Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap
sesuatu yang baru.
Posting Komentar untuk "Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial"