Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Perlawanan di Bali

Kamu tentu sudah tahu tentang Bali. Sekalipun ada di antara kamu yang belum pernah ke Bali, tetapi tentu sudah begitu familier mendengar nama Bali. Bahkan, pada abad ke-20 pada saat Indonesia sudah merdeka ternyata masyarakat dunia lebih mengenal nama Bali dari pada nama Indonesia. Bali adalah sebuah pulau kecil yang sangat terkenal di Indonesia. Bali dikenal sebagai Pulau Dewata dan menjadi tujuan wisata nomor satu di Indonesia. Tetapi kalau kita lihat dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sampai abad ke-19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk menanamkan pengaruhnya. Kapal-kapal orang-orang Barat mungkin hanya singgah dan sekedar berdagang. Baru pada sekitar tahun 1830- an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkenal dengan sebutan “Perang Puputan” 

Mengapa Terjadi Perang Puputan di Bali? 

Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri, dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah kolonial mulai menjalin kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Kontrak tersebut tidak sekadar urusan dagang, tetapi juga menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia BeIanda. Namun, dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Oleh karena itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masingmasing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi. Kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar, tetapi misi politik menghadapi berbagai kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda, diantaranya, dengan Raja Badung (28 November 1842), Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Raja Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.

Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan Hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap kejadian ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati.

Belanda juga menuntut agar Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan, I Gusti Ketut Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak dapat dihindarkan. Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng mendapat dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng yang dibantu oleh para pejuang Karangasem dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian. Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ketut Jelantik beserta pasukannya terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: 

  1. dalam waktu tiga bulan Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru; 
  2. Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik kepada pemerintah Belanda; 
  3. Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng. 

Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang berpura-pura menerima isi perjanjian itu. Namun, di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan Gelar Supit Urang. Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 kapal-kapal asing yang terdampar di Pantai Kusumba Klungkung tetap dirampas oleh kerajaan. Hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung, dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani. Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng kemudian mengirim kurir untuk meminta bantuan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali sehingga datang pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem, dan Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya. 

Belanda terus meningkatkan kekuatannya untuk menghadapi hal tersebut. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, bala bantuan Belanda mendarat di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap Benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland. Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ketut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu dapat ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. 

Oleh karena itu, dipersiapkan pasukan yang lebih kuat untuk melakukan pembalasan. Awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda. Keruntuhan Benteng Jagaraga menjadi pertanda lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti Ketut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri. Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ketut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul kemudian bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Meskipun demikian, Belanda tidak mudah untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung. Dua tahun kemudian Perang Puputan meletus di Klungkung.  

Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Sejarah Perlawanan di Bali"

close