Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat

Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki dan perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian kerja menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan peran lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai berikut :
  1. Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah. 
  2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggungjawab perempuan 
  3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam 
  4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga. 
  5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya
Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex roles) memberi makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan ekspektasi yang diasosiasikan dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal menjadi laki-laki atau perempuan dalam masyarakat. Menurut teori fungsionalisme (functionalism), peran seks (seperti peran yang lain) merefleksikan norma-norma sosial yang bertahan dan merupakan pola-pola sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi dewasa ini adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan perkembangan secara bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan.

Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat

Setiap manusia termasuk perempuan berangkat dan besar dari bekal yang diberikan masyarakat, bekal berupa budaya, norma, nilai, hukum dan lain-lain yang disepakati oleh masyarakat. Bila perkembangan berikutnya memperlihatkan ketidaksamaan perempuan berperan dalam masyarakat, hal tersebut dapat berangkat dari pertanyaan ”Dan bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan ?” jawaban untuk pertanyaan ini menghasilkan kesimpulan umum bahwa ketidakterlihatan, kesenjangan, dan perbedaan peran dalam hubungannya dengan lelaki, yang umumnya mencirikan kehidupan perempuan, sangat dipengaruhi oleh lokasi sosial perempuan, yaitu, oleh kelasnya, ras, usianya, preferensi afeksionalnya, status marital, agama, etnisitas, dan lokasi globalnya.

Peran Egalitarian Perempuan 

Elan vital gerakan perempuan dalam menjalankan perannya di tengah masyarakat, sebagai contoh dalam perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan bisa dilihat pada sosok Tjut Nyak Dien, Tjut Mutia, atau Martha Kristina Tiahahu, dan dalam mengisi awal-awal kemerdekaan melalui pendidikan bagi perempuan bisa dilihat pada sosok Nyai Ahmad Dahlan atau Rasuna Said.

Perjuangan Tjut Nyak Dien sendiri menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang perempuan ini. Zentgraaf mengatakan, para perempuanlah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan terhadap Belanda. Aceh mengenal Grandes Dames (perempuanperempuan besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor

Ada sebuah sejarah yang mungkin luput dari cermatan banyak orang saat ini, Kartini pahlawan perempuan di Indonesia melakukan negosiasi politik feminitas dalam salah satu cara perjuangannya. Dalam kultur tradisional, memasak, dikawinkan, dan dipingit adalah kegiatan yang melekat pada diri perempuan. Diungkapkan oleh Chuzaifah, Yuniyanti (Gatra, April 2010: 13), bahwa Kartini menggunakan peran domestik sebagai strategi accommodating protest, memasak dalam konteks Kartini bisa ditafsirkan sebagai upaya menyejajarkan egalitarianisme pribumi dengan kolonial melalui ranah domestik tradisi perempuan. Kecanggihan Kartini memasak aneka masakan lokal dan Eropa membuatnya dianggap berbudaya, beradab, dan pada saat yang sama masih memelihara kelaziman sebagai ide-ide progresifnya.

Perjuangan para perempuan tersebut tidak bisa dilupakan oleh pemerintah Indonesia. Namun bukan hal yang mudah bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan bagi peningkatan peran perempuan dalam pembangunan. Dapat dicontohkan dari sisi internal persoalan perempuan, dalam diri perempuan sendiri, konsep identitas menyebut perempuan atau wanita mengalami proses pemikiran dan perdebatan selalu muncul dalam diskusi atau pertemuan antar perempuan.

Perubahan penggunaan istilah wanita menjadi perempuan yang terjadi di awal reformasi merupakan fenomena menarik. Ada sebagian kalangan yang menafsirkan perubahan penggunaan kata wanita ke perempuan merupakan simbolisasi perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Dengan menggunakan prespektif historis, para penganut pandangan ini melihat penggunaan istilah wanita pada masa orde baru merupakan antitesis atas penggunaan istilah perempuan pada masa Jepang yang memperlihatkan realita dimana kaum hawa mengalami penindasan tak terperi. Adapun perubahan penggunaan kata perempuan di era reformasi kemudian dipandang sebagai keberhasilan perjuangan mengungkap realita bahwa masih banyak penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan tetap belum merdeka meskipun Indonesia telah lepas dari penjajah. 

Adapula yang menawarkan pendekatan etomologi untuk mengartikan penggunaan kata perempuan di era reformasi. Kata wanita diartikan sebagai wani ditata artinya berani ditata. Adapun kata wanita yang diyakini merupakan bahasa sansekerta, berasal dari kata dasar wan artinya nafsu, kata wanita diartikan “yang dinafsui atau objek seks”. Sedangkan asal kata perempuan adalah empu yang bermakna dipertuan atau dihormati. Perubahan penggunaan kata wanita menjadi perempuan dianggap simbolisasi perempuan yang semula diposisikan sebagai objek menjadi subjek.( Christina S.Handayani dan Novianto Ardhian dalam A.Adaby Darban.

Pemakaian kata wanita dan perempuan tersebut pada perkembangan berikutnya menunjukkan tingkat perhatian pada kajian gender, ada anggapan bahwa dengan berdasarkan kebijakan pemerintah yang mengubah kata Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan memperlihatkan bahwa kata “Perempuan” lebih menunjukkan penghargaan dan kemajuan perspektif daripada kata “wanita”.

Afirmatif peran perempuan

Di Indonesia, kepedulian terhadap eksistensi perempuan adalah dengan adanya instruksi Presiden RI No.9 tahun 2000 tentang “Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional”. Sasaran strategi pengarusutamaan gender (PUG) adalah upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Penguatan dari pemerintah tersebut dapat dikatakan memberi warna terang tentang keharusan para stakeholder untuk tidak menyampingkan posisi perempuan dalam setiap kegiatan pembangunan. Dan tugas utama penggiat peningkatan kesetaraan perempuan adalah mempelajari lalu memperbaiki cara berpikir perempuan itu sendiri agar mau berubah. Hal ini berkaitan dengan Sosiolog feminis yang menyatakan bahwa perempuan merasakan diri mereka demikian dibatasi oleh status mereka sebagai perempuan sehingga gagasan yang mereka bangun untuk kehidupan mereka nyaris menjadi teori tanpa makna. Perempuan berpengalaman merencanakan dan bertindak dalam rangka mengurus berbagai kepentingan, kepentingan mereka sendiri dan kepentingan orang lain; bertindak atas dasar kerjasama, bukan karena keunggulan sendiri; dan mungkin mengevaluasi pengalaman dari peran penyeimbang mereka bukan sebagai peran yang penuh konflik, tetapi sebagai respon yang lebih tepat terhadap kehidupan sosial ketimbang kompertementalisasi peran.

Pemahaman pentingnya peran perempuan diperkuat dengan kenyataan bahwa afirmasi berupa instruksi Presiden tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, cenderung diterima dengan dilema oleh penggiat kesetaraan gender, satu pihak peran perempuan perlu diperhatikan dan diperkuat oleh pemerintah, di satu pihak pemerintah seakan memberi perhatian tanpa mengetahui kebutuhan perempuan secara sosial budaya. Bila penggiat kesetaraan gender masih dilema dengan afirmasi dari pemerintah, bagaimana dengan perempuan awam pengetahuan lainnya, tetesan kebijakan pemerintah untuk peningkatan peran perempuan di tengah masyarakat belum merata.

Di tengah perkembangan zaman yang terus berubah, peran perempuan mungkin tidak banyak berubah terutama peran domestiknya, mungkin yang terlihat pada pelaksanaanya, mendapat kesempatan dan bantuan atau tidak dari orang-orang terdekatnya dan dukungan dari masyarakat. Berikut gambaran peran perempuan mendatang menurut Aida Vitalaya.

Peran transisi dan egalitarian akan menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu 
  1. keajegan penajaman peran laki-laki dan perempuan memudar dan tidak jelas lagi pembedanya dengan indikator penentu adalah potensi dan kemampuan individual, 
  2. perempuan pekerja akan meningkat, sebaliknya jumlah lelaki menganggur juga meningkat, dan 
  3. mobilitas sosial dan geografis lokasi kerja memisahkan tempat tinggal suami-istri, dan anak.
Secara umum, seseorang jarang menduduki satu peran saja dalam aktifitasnya, dengan memikul dua atau lebih banyak lagi peran yang dilakoni akan membuat banyak beban yang harus dijalani, sehingga terkadang menimbulkan kontradiksi antar peran tersebut. Demikian halnya dengan seorang perempuan, akan menghadapi harapan dan permintaan yang bertentangan berkaitan dengan perannya sebagai anak, istri, ibu, dan pekerjaannya dalam masyarakat 
Bona Pasogit
Bona Pasogit Content Creator, Video Creator and Writer

Posting Komentar untuk "Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat"

close